PERUBAHAN, PERGESERAN, DAN PEMERTAHANAN
1. Perubahan Bahasa
Perubahan
bahasa pada dasarnya tidak dapat diamati dan diobservasi dengan jelas. Hal ini
dikarenakan perubahan menjadi sifat hakiki bahasa. Bahasa bisa berubah dalam
waktu yang relatif lama atau proses yang panjang, sedangkan manusia yang
mengamati memiliki waktu yang terbatas untuk hidup. Jadi, bukti perubahan hanya
dapat diobservasi jika manusia pemakai bahasa di masa lalu memiliki tradisi
tulis dan mempunyai dokumen-dokumen tertulis tentang bahasa yang mereka
gunakan.
Chaer dan Leonie (2004:134)
menjelaskan ada beberapa bahasa di dunia yang didokumentasikan secara tertulis
dengan baik oleh masyarakat penuturnya, diantaranya bahasa Inggris, bahasa
Arab, dan bahasa Jawa. Bahasa-bahasa itu dapat diikuti perkembangannya sejak
awal dan dapat diketahui perubahannya dari waktu ke waktu.
Perubahan bahasa lazim diartikan
sebagai perubahan kaidah baik kaidah yang direvisi maupun kaidah yang
menghilang, atau dapat pula muncul kaidah baru dalam tataran lingustik:
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, maupun leksikon. Pada makalah ini,
yang akan dibahas adalah bukti perubahan bahasa dalam tataran linguistik tanpa
memperhatikan kapan perubahan itu terjadi.
1.1 Perubahan Fonologi
Perubahan
fonem atau perubahan bunyi dalam bahasa Indonesia dapat kita amati berkat
adanya dokumentasi tertulis. Sebelum diberlakukan EYD, fonem /f/, /x/, dan /z/
belum muncul dan belum dimasukkan dalam khasanah fonem bahasa Indonesia, yang
dikenal justru fonem /p/ dan/z/. Akan tetapi, dalam perkembangan bahasa
Indonesia fonem-fonem tersebut dapat berubah menjadi /f/ dan /z/ pada beberapa
kata berbahasa Indonesia. Perubahan
fonem /p/ menjadi /f/ dapat diamati pada kata napas yang kini dilafalkan
nafas, Pebruari dilafalkan Februari, dan
kata yang dulunya berfonem /s/ kini ada yang berubah menjadi /z/ misalnya kata
lasim menjadi lazim, lesat menjadi lezat.
Perubahan fonologi dalam bahasa
Indonesia juga berupa penambahan fonem. Bahasa Indonesia mulanya belum mengenal
fonem /f/ akhirnya mengenal fonem tersebut akibat penyerapan kata seperti kata
fakir yang berasal dari bahasa Arab, fonem /kh/ seperti kata khusus,akhir yang
juga berasal dari bahasa arab, dan /x/ pada kata taxi yang muncul akibat
penyerapan bahasa Inggris. Akibat dari perubahan fonem dan penambahan fonem
dalam bahasa Indonesia, pola silabel bahasa Indonesia juga mengalami perubahan
yang dulunya hanya sebatas pola V, VK, KV, KVK kini bertambah menjadi KKV,
KKVK, KVKK, misalnya pola KKV pada kata khu-sus, kha-wa-tir, mu-sya-wa-rah,
pola KKVK pada kata prak-tik, tran-smig-ra-si, dan pola KVKK pada kata
makh-luk, masy-hur.
1.2
Perubahan Morfologi
Perubahan bahasa bukan hanya dialami
dalam bidang fonologi. Perubahan juga dapat diamati dalam bidang morfologi,
yakni pada proses pembentukan kata. Hal ini terlihat pada proses penasalan
pembentukan prefiks me- dan pe- (Chaer dan Leonie, 2004:136). Apabila kedua
prefiks tersebut dibubuhi pada kata yang dimulai dengan konsonan /l/,
/r/,/w/,/y/ tidak akan terjadi penasalan, seperti kata melupakan, pelupa,
merasa, pewaris, meyakini. Itu artinya konsonan-konsonan tersebut tidak luluh
dan tidak berubah bunyi.
Jika prefiks me- dan pe- diimbuhkan
pada kata yang dimulai dengan konsonan /b/ dan maka diberi nasal /m/, misalnya
membuat, pembaca, konsonan /p/ menjadi luluh dan berubah menjadi /m/, misalnya
memupuk, memomulerkan. Adapula konsonan /s/ luluh dan diberi nasal /ny/ seperti
kata menyapu, menyalin, konsonan /k/ juga akan luluh dan diberi nasal /ng/
seperti kata mengoreksi, pengoleksi. Begitu pula dengan konsonan /g/,/h/ tetapi
tidak luluh namun tetap diberi nasal /ng/ seperti kata penggandaan
menghadirkan,sedangkan konsonan /t/ akan
luluh dan diberi nasal /n/ seperti kata peneror, meneror.
Di lain sisi, ada beberapa kata yang
memiliki satu suku kata yang diserap dari bahasa jika menggunakan kaidah
prefiks me- dan pe- akan berubah menjadi menge- dan penge-, seperti kata bom
menjadi mengebom, sah menjadi mengesahkan, bom menjadi pengebom. Ahli tata
bahasa tradisional tidak mau mengakui kaidah menge- dan penge- karena dianggap
merusak dan menyalahi kaidah penggunaan bahasa. Akan tetapi, yang terjadi
sekarang adalah kedua alomorf tersebut diakui sebagai dua alomorf bahasa
Indonesia untuk morfem pe- dan me- (Chaer dan Leonie, 2010 : 137). Dengan
diakui kedua alomorf tersebut jelaslah terlihat terjadinya perubahan besar
dalam morfologi bahasa Indonesia.
1.3
Perubahan Sintaksis
Chaer dan Leonie (2004 : 138)
menyebutkan perubahan kaidah sintaksis dalam bahasa Indonesia juga dapat kita
amati dengan logis, contohnya saja pada kalimat aktif transitif. Menurut kaidah
sintaksis,sebuah kalimat dapat dikatakan sebagai kalimat aktif transitif
haruslah diikuti oleh objek atau dapat dikatakan pula harus memiliki objek.
Akan tetapi, dewasa ini banyak pula kalimat aktif transitif yang tidak
menggunakan objek seperti :
“Masliana
melaporkan dari tempat kejadian.”
Kalimat di atas biasanya
dipakai oleh pencari berita atau reporter berita yang menayangkan berita
langsung dari tempat kejadian.
Kabar itu sangat menggembirakan.
Adik sedang bermain di ruang tengah.
Ananda belajar menulis dan berhitung sejak
duduk di bangku kelas 1 SD.
Kakek sudah makan, tetapi belum minum.
Aku berjalan di trotoar.
Perlu diketahui, definisi sederhana
dari kalimat aktif adalah kalimat yang subjeknya melakukan pekerjaan, sedangkan
objeknya “menderita” atau dikenai pekerjaan. Ciri lain yang memudahkan kita
untuk menentukan kalimat aktif, yaitu predikat pada kalimat aktif berawalan me-
atau ber-.
Seperti yang dipaparkan di atas,
kalimat aktif transitif adalah kalimat aktif yang predikatnya memerlukan objek.
Paino (2007 :246) mengemukakan jika tidak mendapatkan objek, kalimat aktif
transitif akan memiliki makna yang tidak jelas. Melihat contoh di atas aturan
kalimat aktif transitif harus memiliki objek tidaklah berlaku karena walaupun
kalimat tidak dibubuhi objek, kalimat-kalimat tersebut masih jelas dan logis
maknanya.
1.4
Perubahan Kosakata
Perubahan kosakata dapat diartikan
sebagai pertambahan kosakata baru, hilangnya kosakata lama, dan berubahnya
makna kata. Perubahan kosakata inilah yang paling mudah untuk diamati. Ini
terbukti dari semakin banyaknya jumlah kosakata pada Kamus Besar Bahasa Indonesia
di setiap penerbitannya. Chaer dan Leonie (2010:139) mengungkapkan ada beberapa
faktor perubahan kosakata dalam suatu bahasa, diantaranya:
1. Penyerapan Bahasa Asing dan Bahasa Daerah
Penyerapan bahasa-bahasa asing dan
bahasa-bahasa nusantara menjadi salah satu faktor bertambahnya kosakata baru
dalam bahasa Indonesia. Proses penyerapan atau peminjaman ini ada yang
dilakukan secara langsung dari bahasa sumbernya, adapula melalui bahasa lain.
Kata kasus dalam bahasa Indonesia merupakan contoh bahasa serapan langsung dari
bahasa Latin, kata sastra, sabda, panca juga merupakan contoh serapan langsung
dari bahasa Sansekerta. Kata algebra pada bahasa Prancis merupakan pinjaman
dari bahasa Spanyol yang menyerap pula dari bahasa Arab. Pada bahasa Indonesia
kata sistem merupakan pinjaman dari bahasa Belanda, yaitu syteem yang menyerap
pula dari bahasa Inggris system.
2. Proses Penciptaan Kosakata Baru
Selain menyerap dan meminjam dari
bahasa lain, perubahan kosakata juga dapat dilakukan dengan proses penciptaan.
Misalnya pada kata Kleenex dibentuk dalam bahasa Inggris dibentuk dari kata
clean, kata jell-O dari kata jell. Dalam bahasa Indonesia pena dibentuk dari
kata pen yang berasal dari Bahasa Inggris.
3. Pemberian Nama Produk atau Merek Dagang
Pemberian nama produk atau merek
dagang seperti: kodak untuk sebutan kamera, honda untuk sebutan motor, rinso
untuk sebutan sabun cuci pakaian juga memberi kontribusi terhadap perubahan
kosakata bahasa Indonesia.
4. Pemendekan Kata dan Akronim
Pemendekan kata juga merupakan bagian dari perubahan
kosakata, contohnya tv untuk televisi, prof untuk profesor, com untuk sebutan
email di computer, TNI untuk Tentara Negara Indonesia. Di samping proses
pemendekan, pembentukan akronim juga berkontribusi terhadap perubahan kosakata,
seperti kata ABRI, Pukskesma, NASA, UNESCO, SARA,dan masih banyak contoh
lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
5. Penggabungan Kata atau Kata Majemuk
Penggabungan dua kata atau lebih
yang membentuk makna baru dan berbeda
dengan makna kata yang semula, juga banyak digunakan untuk menciptakan
kata-kata baru dalam bahasa Indonesia, seperti kata matahari, saputangan, mahasiswa, meja hijau, hulubalang,
kaki lima.
6. Penyingkatan Gabungan Kata
Ada beberapa kata yang baru tercipta
melalui proses penggabungan beberapa kata yang kemudian disingkat kembali,
contoh: Karimata (Kalimantan dan Sumatra), keretapi (kereta dan api), Denbar
(Denpasar Barat).
Seperti yang telah dipaparkan Chaer
dan Leonie (2010:139), perubahan
kosakata tidak hanya semata-mata akibat dari penambahan kosakata, tetapi bisa
pula disebabkan oleh hilangnya penggunaan kosakata di masyarakat. Terbukti ada
beberapa kata dalam Bahasa Indonesia yang saat ini tidak lagi digunakan oleh
masyarakat penuturnya, seperti kata engku untuk sebutan guru laki-laki, tingkap
untuk sebutan jendela, ungkai yang artinya terbuka, babu yang artinya pembantu,
bunting yang berarti hamil. Akan tetapi, ada beberapa kosakata yang lama sudah
tidak muncul atau sempat menghilang kini kembali digunakan seperti kata galau,
kudapan, mengelola.
1.5
Perubahan Semantik
Perubahan semantik secara umum
berupa perubahan pada makna butir-butir leksikal yang mungkin saja berubah
total, meluas, atau bisa pula menyempit (Chaer dan Leonie, 2010:141). Berikut
akan dijelaskan pemaparannya secara terperinci.
a. Perubahan
Semantik Total
Perubahan semantik yang bersifat
total adalah makna kata terdahulu jauh berubah dan berbeda arti dengan makna
kata sekarang, contohnya kata pena yang dahulu bermakna bulu angsa sekarang
berarti alat tulis bertinta, ceramah yang dahulu bermakna cerewet sekarang
berarti uraian suatu bidang ilmu, seni yang dahulu berarti air kencing sekarang
berarti karya yang bernilai halus.
b. Perubahan
Semantik Meluas
Perubahan makna meluas berarti kata
yang dahulu hanya memiliki satu makna, kini memiliki lebih dari satu makna,
seperti kata saudara dahulu hanya berarti orang yang lahir dari rahim ibu yang
sama, kini meluas menjadi kata ganti orang seperti “kamu” dan “anda”. Kata
kepala yang dulu berarti bagian tubuh paling atas, sekarang bisa pula berarti
pemimpin. Kata picture yang dulu hanya bermakna gambar, kini maknanya meluas
menjadi potret, bioskop, dan foto.
Pateda (1987:82) juga memberikan
contoh kata “amplop” yang pada mulanya di kalangan pegawai kantor dihubungkan
dengan pembungkus surat, sedangkan kini “amplop” juga dapat diartikan “suap-
menyuap”. Contohnya saja seperti kalimat berikut “Berikan saja amplop kepadanya
agar kamu lolos tes CPNS”. Pada kalimat tersebut kata amplop memiliki arti
“uang suap” untuk lolos tes CPNS. Hal ini mengindikasikan ”amplop” mengalami
perluasan makna.
c. Perubahan
Semantik Menyempit
Perubahan makna menyempit berarti
kata yang pada mulanya memiliki makna yang luas, kini menyempit makna, seperti
kata sarjana dalam bahasa Indonesia bermakna orang-orang pandai tidak hanya
dinilai dari tingkat pendidikan, sedangkan sekarang sarjana bermakna orang yang
sudah lulus dari perguruan tinggi. Sama halnya dengan kata ahli pada mulanya
bermakna orang yang termasuk dalam satu golongan, kini bermakna orang yang
pandai dalam suatu bidang.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat
disimpulkan Chaer dan Leonie membedakan perubahan bahasa dari 5 sisi pengkajian
bahasa, yakni: 1) perubahan secara fonologi, 2) morfologi, 3) sintaksis, 4) kosakata,
5) semantik. Perlu diketahui pula, di sisi lain Wardaught dalam Chaer dan
Leonie (2010 : 142) membedakan ada dua macam perubahan bahasa, yaitu perubahan
internal yang terjadi dari dalam bahasa itu sendiri, dan perubahan secara
eksternal terjadi perubahan bahasa akibat penyerapan kosakata asing, penambahan
fonem dari bahasa lain.
2. Pergeseran Bahasa
Saat
dilahirkan ke dunia ini, manusia mulai belajar bahasa. Sedikit demi sedikit,
bahasa yang dipelajari olehnya sejak kecil semakin dikuasainya sehingga jadilah
bahasa yang ia pelajari sejak kecil itu sebagai bahasa pertamanya. Dengan
bahasa yang dikuasai olehnya itulah, ia berinteraksi dengan masyarakat di
sekitarnya.
Beranjak remaja, ia sudah menguasai
lebih dua atau lebih bahasa. Semua itu ia peroleh ketika berinteraksi dengan
masyarakat atau ketika di bangku sekolah. Hal ini menyebabkan ia menjadi
dwibahasawan atau multibahasawan. Ketika menjadi dwibahasawan atau multibahasawan, ia dihadapkan pada pertanyaan, yaitu manakah
di antara bahasa yang ia kuasai merupakan bahasa yang paling penting? Di
saat-saat seperti inilah terjadinya proses pergeseran bahasa, yaitu menempatkan
sebuah bahasa menjadi lebih penting di antara bahasa-bahasa yang ia kuasai.
Contoh yang dapat dikemukakan
berdasarkan ilustrasi di atas adalah sebagai berikut. Seorang anak bahasa
pertamanya adalah bahasa A. Lalu, ketika sekolah dia menguasai bahasa B. Lambat
laun ia menyadari bahwa bahasa B lebih penting atau membawa manfaat yang sangat
besar baginya. Hal ini membuat dia lebih memilih bahasa B daripada bahasa A
dalam berinteraksi. Dengan demikian, posisi bahasa A sebagai bahasa yang utama
bagi si anak menjadi bergeser sebagai bahasa yang ‘termarginalkan’ atau
dinomorduakan. Kasus seperti ini disebut dengan kasus pergeseran bahasa.
3. Pemertahanan Bahasa
Di atas telah dijelasakan bahwa
pergeseran bahasa terjadi perpindahan penduduk, ekonomi, sekolah. Akan tetapi,
terdapat pula masyarakat yang tetap mempertahankan bahasa pertamanya dalam
berinteraksi dengan sesama mereka meskipun mereka adalah masyarakat minoritas.
Berkaitan dengan hal ini, pemertahanan bahasa Cina di Peunayong, Banda Aceh,
dapat sama-sama dicermati. Etnis yang sudah ada di Sumatera sejak abad ke-6 ini
telah membuktikan bahwa meskipun berposisi sebagai masyarakat minoritas, mereka
ternyata tetap mampu keberadaan bahasa mereka yaitu bahasa Cina. Hal ini
ditandai oleh mampunya anak-anak mereka dalam berbahasa Cina padahal peralihan
generasi masyarakat ini sudah cukup lama. Yang perlu digarisbawahi adalah
bahasa Cina yang dikuasai oleh masyarakat cina di Peunayong ini adalah bahasa
Haak (barangkali dapat dikatakan dialek). Memang belum ada penelitian lebih
lanjut tentang pemertahanan bahasa Cina dialek Haak di Peunayong. Akan tetapi,
penulis sempat beberapa kali melakukan observasi. Dalam observasi itu penulis
sangat sering melihat anak-anak etnis Tionghoa ini berinterkasi dengan
menggunakan bahasa Cina dialek Haak ini. Selain itu juga, dalam ranah keluarga
kasus yang sama juga penulis temukan. Antara ayah dan ibu, orang tua dan
anak-anak, mereka sama-sama berinteraksi dengan menggunakan bahasa Cina diale
Haak sebagai perantara meskipun tak dapat dipungkiri bahwa banyak masyarakat
Cina di Peunayong tidak mampu berbahasa Mandarin.
Yang menarik adalah meskipun mereka
merupakan masyarakat minoritas, sebagian masyarakat etnis Tionghoa ini mampu
menguasai bahasa Aceh dengan baik bahkan dapat dikatakan kefasihan mereka
berbahasa Aceh mampu menandingi penutur asli bahasa Aceh sendiri walaupun tak
dapat dipungkiri bahwa terdapat pula sebagian masyarakat etnis Tionghoa itu
hanya memahami bahasa Aceh, tetapi tidak mampu melafalkannya. Apakah bahasa
Cina etnis Tionghoa ini telah mengalami pergeseran? Sejauh ini setahu penulis
belum ada yang meneliti. Akan tetapi, dari gejala-gejala yang teramati
sekarang, tampaknya bahasa ini belum mengalami pergeseran karena ia masih
digunakan sesuai dengan fungsi.
Ketika berinteraksi dengan
masyarakat etnis Aceh, masyarakat etnis Tionghoa menggunakan bahasa Indonesia
atau bahasa Aceh sebagai perantara. Namun, bahasa yang dipakai akan berbeda
ketika masyarakat etnis Tionghoa ini berinteraksi dengan sesama mereka. Dalam
konteks ini bahasa yang mereka pakai tetap bahasa Cina.
Pemertahanan bahasa Aceh sebagai
bahasa pertama juga dapat dikatakan masih baik. Namun, berkaitan dengan
pemertahanan bahasa Aceh ini kiranya perlu diberikan batasan antara pemertahan
bahasa Aceh di kota dan pemertahanan bahasa Aceh di desa.
Jka dibandingka dengan di kota,
pemertahanan bahasa Aceh di desa jauh lebih baik. Sangat sedikit didapati
anak-anak desa yang tidak mampu berbahasa Aceh. Hal ini tentu saja terjadi
karena orang tua dalam lingkungan keluarga berinteraksi dengan sang anak
menggunakan bahasa Aceh. Dengan
demikian, bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua bagi si anak dan umumnya bahasa
ini diperoleh si anak ketika ia telah berada di bangku sekolah. Kasus ini akan
sangat berbeda dengan kasus yang terjadi di kota. Di kota pemertahanan bahasa
Aceh cenderung lebih memudar. Banyak didapati anak-anak di kota yang tidak
mampu berbahasa Aceh padahal orang tua mereka kedua-duanya adalah penutur
bahasa Aceh. Faktor penyebabnya seperti tuntutan sekolah. Banyak guru di
sekolah perkotaan menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam proses
pembelajaran. Hal ini menimbulkan anggapan bagi orang tua bahwa sang anak harus
diajarkan bahasa Indonesia. Jika tidak diajarkan, anak dianggap akan terhambat
memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru.
Kasus pemertahanan bahasa juga
terjadi pada masyarakat Loloan yang berada di Bali. Kasus pemertahanan bahasa
Melayu Loloan ini disampaikan oleh Sumarsono (Chaer, 2004 : 147). Menurut
Sumarsono, penduduk desa Loloan yang berjumlah sekitar tiga ribu orang itu
tidak menggunakan bahasa Bali, tetapi menggunakan sejenis bahasa Melayu yang
disebut bahasa Melayu Loloan sejak abad ke-18 yang lalu ketika leluhur mereka
yang berasal dari Bugis dan Pontianak tiba di tempat itu. Ada beberapa faktor
yang menyebabkan mereka tetap mempertahankan bahasa Melayu Loloan. Pertama,
wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada satu tempat yang secara geografis
aak terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat Bali. Kedua, adanya toleransi
dari masyarakat mayoritas Bali untuk menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam
berinteraksi dengan golongan minoritas Loloan meskipun dalam interaksi itu
kadang-kadang digunakan juga bahasa Bali. Ketiga, anggota masyarakat Lolan
mempunyai sikap keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya,
bahasa Bali. Pandangan seperti ini dan ditambah dengan terkonsentrasinya
masyarakat Lolan ini menyebabkan minimnya interaksi fisik antara masyakat
Loloan yang minoritas dan masyarakat Bali yan mayoritas. Akibatnya pula menjadi
tidak digunakannya bahasa Bali dalam berinteraksi intrakelompok dalam
masyarakat Loloan. Keempat, adanya loyalitas yang tinggi dari masyarakat Melayu
Loloan sebagai konsekuaensi kedudukan atau status bahasa ini yang menjadi
lambang identitas diri masyarakat Loloan yang beragama Islam; sedangkan bahasa
Bali dianggap sebagai lambang identitas masyarakat Bali yang beragama Hindu.
Oleh karena itu, penggunaan bahasa Bali ditolah untuk kegiatan-kegiatan
intrakelompok terutama dalam ranah agama. Kelima, adanya kesinambungan pengalian
bahasa Melayu Loloan dari generasi terdahulu ke genarasi berikutnya.
Masyarakat Melayu Loloan ini, selain
menggunakan bahasa Melayu Loloan dan bahas Bali, juga menggunakan bahasa
Indonesia. Bahasa Indonesia diperlakukan secara berbeda oleh mereka. Dalam anggapan
mereka bahaa Indonesia mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada bahasa
Bali. Bahasa Indonesia tidak dianggap memiliki konotasi keagamaan tertentu.
Ia bahkan dianggap sebagai milik sendiri
dalam kedudukan mereka sebagai rakyat Indonesia. Oleh karena itu, mereka tidak
keberatan menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.
Faktor-faktor yang Memengaruhi
Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa
Pergeseran
dan pemertahanan bahasa dipengaruhi oleh berbagai faktor. Masalah pergeseran dan
pemertahanan bahasa Indonesia dipengaruhi oleh faktor yang dilatarbelakangi
oleh situasi kedwibahasaan atau kemultibahasaan. Akan tetapi, faktor
kedwibahasaan bukanlah satu-satunya faktor penyebab terjadinya pergeseran
bahasa. Terdapat beberapa faktor lain yang juga merupakan penyebab yang sangat
rentan terhadap peristiwa pergeseran bahasa. Pertama, faktor perpindahan
penduduk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chaer (2004:142), pergeseran bahasa (language shift) menyangkut
masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang
bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke
masyarakat tutur yang lain.
Pergeseran bahasa juga dapat terjadi
karena masyarakat yang didatangi jumlahnya sangat kecil dan terpecah-pecah.
Dengan kata lain, pergeseran bahasa bukan disebabkan oleh masyarakat yang
menempati sebuah wilayah, melainkan oleh pendatang yang mendatangi sebuah
wilayah. Kasus seperti ini pernah terjadi di beberapa wilayah kecil di Inggris
ketika industri mereka berkembang. Beberapa bahasa kecil yang merupakan bahasa
penduduk setempat tergeser oleh bahasa Inggris yang dibawa oleh para buruh
industri ke tempat kecil itu.
Kedua, pergeseran bahasa juga
disebabkan oleh faktor ekonomi. Salah satu faktor ekonomi itu adalah
industrialisasi. Kemajuan ekonomi kadang-kadang mengangkat posisi sebuah bahasa
menjadi bahasa yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Sumarsono dan Partana,
2002:237). Kasus ini dapat dicermati pada bahasa Inggris. Jauh sebelum bahasa
Inggris muncul, bahasa yang pertama sekali dipakai di tingkat internasional
adalah bahasa Latin. Bahasa ini menjadi bahasa yang dipilih oleh masyarakat,
terutama masyarakat pelajar. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman, bahasa
Latin kemudian ditinggalkan orang. Konon katanya bahasa ini ditinggalkan karena
terlalu rumitnya struktur bahasa Latin ini. lambat laun karena kerumitan ini
orang beralih kepada bahasa Prancis. Bahasa ini memiliki kedudukan layaknya
bahasa Latin dulu. Akan tetapi, sebagaimana bahasa Latin, bahasa ini kemudian
ditinggalkan orang. Karena semakin maju perekonomian di Inggris yang ditandai
oleh adanya revolusi industri orang kemudian beralih ke bahasa Inggris. Bahasa
ini akhirnya menjadi bahasa internasional, mengalahkan bahasa Latin dan bahasa
Prancis.
Sekarang orang berbondong-bondong
belajar bahasa Inggris. Bahkan demi bahasa Inggris, orang rela meninggalkan
bahasa pertamanya. Kedudukan bahasa Inggris ini semakin diperkuat oleh adanya
perusahaan-perusahaan baik swasta maupun negeri yang menjadikan bahasa Inggris
sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pelamar kerja.
Bukan hanya itu. Di tingkat perguruan tinggi saja lulus TOEFL merupakan salah
satu syarat untuk dapat mengikuti sidang sarjana. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Jawabannya tentu saja karena Eropa merupakan penguasa ekonomi di dunia ini.
Ketiga, pergeseran bahasa menurut
Sumarsono dan Partana (2002:237) juga disebabkan oleh sekolah. Sekolah sering
juga dituding sebagai faktor penyebab bergesernya bahasa ibu murid karena
sekolah biasanya mengajarkan bahasa asing kepada anak-anak. Hal ini pula yang
kadangkala menjadi penyebab bergesernya posisi bahasa daerah. Para orang tua
enggan mengajari anaknya bahasa daerah karena mereka berpikir bahwa anaknya
akan susah memahami mata pelajaran yang disampaikan oleh gurunya dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Akibatnya anak tidak mampu berbahasa daerah atau
paling tidak anak hanya dapat memahami bahasa daerah tanpa mampu berinteraksi.
DAFTAR PUSTAKA
Bakar,
Aboe, dkk. 1985. Kamus Aceh Indonesia. Jakarta: Pusat Pengembangan dan
Pembinaan bahasa, Depdiknas.
Chaer,
Abdul dan Agustina Leony. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta.
Copyright
©2008 TEMPOinteraktif, diakses 16 Mei 2009.
http://www.gatra.com/2007-06-01/artikel,
diakses 16 Mei 2009.
Kushartanti,
dkk (eds). 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Sumarsono
dan Partana Paina. 2002. Sosiolinguistik. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Widada,
R.H. 2007. Bush dan Hitler. Yogyakarta: Bentang.
Pergeseran,
pemertahanan dan kepunahan bahasa. http://nahulinguistik.wordpress.com/2010/04/19/pergeseran-pemertahanan-dan-kepunahan-bahasa/.diakses 12/11/2012
Perubahan, pergeseran dan pemertahanan. http://tallonk02.blogspot.com/2012/10/perubahanpergeseran-dan-pemertahanan_28.html
Hi boleh minta kontaknyaa? Ada yang sayaa ingin tanyakan soalnyaa .. mksh
BalasHapus