Kamis, 20 Juni 2013

Bahasa dan Gender


Sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakaian bahasa itu dalam masyarakat, sehingga memandang bahasa sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi. Pemakaian bahasa (language Use) merupakan bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi kongkret (Apple, 1976:9). Dengan demikian bahasa tidak hanya sebagai gejala individual, tetapi juga sebagai gejala sosial.
Sebagai gejala sosial bahasa dan pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor linguistik, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan situasional. Faktor sosial misalnya: status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dsb. Faktor situasional misalnya: siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa.
Aspek pembeda kebahasaan yang tidak selalu ada dalam bahasa, yaitu jenis kelamin. Menurut penelitian memang ada sejumlah masyarakat tutur pria dengan tutur wanita. Dalam penelitian-penelitian linguistik kadang-kadang wanita tidak dipakai sebagai informan karena alasan-alasan tertentu. Seks dalam bab ini dimaksudkan adalah jenis kelamin penutur suatu bahasa. Dalam pemakaian bahasa hubungan antara bahasa, kosa kata, dan jenis kelamin penuturnya dapat ditinjau secara sosiolinguistik.

Dalam pemakaian bahasa hubungan antara bahasa, kosa kata dan jenis kelamin penuturnya dapat ditinjau secara sosiolinguistik. Aspek pembeda kebahasaan yang tidak selalu ada dalam bahasa yaitu jenis kelamin. Berdasarkan penelitian terdapat sejumlah masyarakat tutur pria yang berbeda dengan masyarakat tutur wanita.    
2.1. Penelitian di Indonesia Tentang Bahasa dan Gender
Penelitian ragam bahasa pria dan wanita di Indonesia belum banyak dilakukan. Salah satu diantara yang sedikit adalah penelitian Multamia Lauder dan Basuki Sahardi (1988) tentang sikap kebahasaan kaum wanita di sebagian kota Jakarta. Ubahan (variabel) yang diteliti adalah usia, pekerjaan, pendidikan, lama tinggal di Jakarta, status, dan ini dikaitkan dengan sikap-sikap bahasa mereka, lalu dilihat perbedaan sikap itu pada pria san wanita.
     Secara umum dapat dikatakan sikap kebahasan wanita cenderung mendua. Artinya, ada semacam kontroversi atau pertentangan sikap. Di satu pihak, berdasarkan analisis dari segi usia, pekerjaan, maupun pendidikan, kaum wanita itu tidak begitu menganggap penting penguasaan bahasa-ibu. Namun, di pihak lain, wanita ternyata lebih banyak menjadi anggota perkumpulan sosial yang berbahasa-ibu; lebih banyak wanita yang menginginkan agar anak-anaknya lebih banyak berbahasa-ibu daripada berbahasa Indonesia, dibandingkan dengan pria. Dalam kedua hal ini ternyata wanita lebih konservatif daripada pria.
Penelitian di atas mengatakan ditinjau secara umum, dalam hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri, wanita selalu cenderung mengarah kepada pemakaian bahasa Indonesia. Namun, dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah keluarga ada kecenderungan pada wanita untuk mempertahankan bahasa-ibu.
            Sikap wanita yang mendua sejalan dengan dugaan Elyan dkk. (1988) Wanita itu bersifat “androgini” (mendua). Menurut Elyan, wanita-wanita di kota-kota besar cenderung mendua; mereka ingin maju dan kuat (perkasa) seperti pria, namun tidak mau kehilangan kefemininannya.
Namun, menurut data sensus, baik sensus tahun 1970 maupun sensus tahun 1980, pria lebih banyak yang mampu berbahasa Indonesia daripada wanita. Mengapa pria lebih banyak mampu berbahasa Indonesia? Basuki Suhardi (1987) mengira, hal itu ada kaitannya dengan tingkat pendidikan yang dicapai oleh pria. Jumlah laki-laki yang memperoleh pendidikan formal, dari SD sampai dengan perguruan tinggi, berdasarkan data sensus, memang lebih banyak dibandingkan wanita.
2.2 Perbedaan Intonasi, dan Fonem Antara Pria dan Wanita
            Dalam penelitian-penelitian linguistik kadang-kadang wanita tidak dipakai sebagai informan karena alasan-alasan tertentu. Wanita cenderung mempunyai sikap “hiperkorek” sehingga dianggap mengaburkan situasi yang sebenarnya dikehendaki oleh peneliti. Namun, dilain pihak, adapula linguis yang cenderung memakai wanita sebagai responden.
            Perbedaan pria dengan wanita mungkin tidak langsung menyangkut masalah bahasa atau strukturnya, melainkan hal-hal lain yang menyertai tuturan. Hal-hal lain tersebut antara lain adalah : gerak anggota badan, dan ekspresi wajah. Misalnya: dalam masyarakat Jawa, jika orang mempersilahkan orang lain yang dihormati untuk duduk ia akan ”mengacungkan ibu jarinya” untuk menunjukan tempat yang disediakan tamunya. Gerakan kepala dan ancungan ibu jari itu adalah gesture, yang berlaku untuk semua orang tanpa membedakan jenis kelamin.
Dalam hal ekspresi wajah, dalam Bahasa Jawa ada sejumlah kata yang berkisar pada “permainan” mata atau bibir yang mencerminkan ekspresi wajah, dan banyak digunakan pada wanita daripada pria.
Misalnya, kalau jengkel, tidak berkenan tersinggung, matanya akan meleruk (Jawa), sedangkan pria akan melotot, wajahnya bisa mbesengut/mrengut Jawa). Bibirnya bisa mencucu (Jawa) atau mungkin menjeb (Jawa).
Jenis suara wanita berbeda dengan jenis suara pria. Jenis suara wanita misalnya alto dan sopran sedangkan pria ada suara tenor dan bas.
Dalam hal intonasi, antara wanita dan pria juga berbeda. Misalnya intonasi ‘memanjang’ pada bagian akhir kalimat lebih banyak wanita. Intonasi manja khas pada wanita atau aleman dalam bahasa Jawa. Bahasa ‘kenes’ lembut dan lambat tidak biasa diakukan pria.
Vokal pada tuturan wanita, dalam banyak logat atau ragam bahasa Inggris Amerika, telah ditempukan posisi lebih “meminggir” atau “menepi” (lebih kedepan, ke belakang, lebih tinggi atau lebih rendah) dibanding vocal pria.
Ada dua fonem yang khusus untuk pria dan untuk wanita dalam bahasa Yukaghir, Asia Timur Laut. Keduanya dilafalkan sama oleh anak-anak. Lafal kanak-kanak ini sama dengan lafal yang dipakai oleh wanita dewasa tetapi berbeda dengan pelafalan wanita usia tua. Lafal pria dewasa berbeda dengan lafal pada waktu kanak-kanak dan berbeda pula saat sudah tua.
Kanak-kanak
Dewasa 
Tua
P : /tz/, /dz/
/tj/, /dj/
/cj/,/jj/
W : /tz/, /dz/
/tz/,/dz/
/cj/,/jj/
                         
Tampak bahwa wanita hanya sekali mengubah lafalnya, sedangkan pria terjadi dua kali perubahan lafal.
Perbedaan ragam pria-wanita mungkin tidak hanya berkisar pada tataran fonologi, melainkan juga pada tataran morfologi, kosakata, dan kalimat. Perbedaan-perbedaan bahasa ini tidak dapat diterangkan berdasarkan perbeadan sosial, dialek geografis atau etnik. Karena itu kita harus mencari penyebab yang lain, sebagaimana kita lihat pada paparan berikut.
Ketika orang-orang Eropa pertama kali tiba di Kepulauan Antillen kecil, dan Hindia Barat, mereka langsung mengadakan kontak dengan orang Indian Karibia yang tinggal di sana, mereka menemukan pria dan wanita menggunakan bahasa yang berbeda. Pria mempunyai kosakata dan frase yang khusus untuk mereka. Para wanitanya pun memiliki kosakata yang khusus digunakan untuk kaumnya, bila kosakata tersebut digunakan oleh pria maka akan dicemooh.
Penduduk pribumi kepulauan Dominika, menyatakan bahwa perbedaan tersebut dikarenakan adanya pemberontakan orang karibia. Para pria suku Arawak dibunuh dan para perempuannya dinikahi. Sehingga bahasa kaum pria berbeda dengan bahasa kaum wanita. Tetapi hal tersebut tidak dapat dibuktikan, sehingga hal tersebut hanya dugaan saja.
            Seorang ahli bahasa, Otto Jespersen, memberikan penjelasan lain. Ia mengemukakan perbedaan itu mungkin akibat gejala tabu. Bila kaum pria Karibia akan maju ke medan perang, mereka menggunakan sejumlah kata yang tidak boleh diucapakn para wanita dan anak-anak, karena bila aturan tersebut dilanggar maka akan terjadi malapetaka.
2.3 Teori Tabu dalam Masyarakat
Tabu berasal dari kata taboo yang dipungut dari bahasa Tonga, yang merupakan salah satu bahsa dari rumpun bahasa polinesia. Kata taboo merujuk pada tindakan yang dilarang atau harus dihindari. Bila tindakannya dilarang maka bahasa atau kata-kata yang merupakan symbol dari tindakan itupun dilarang. (Paul Ohoiwutun, 1997: 94).
Tabu memang berperan penting dalam bahasa. Masalah inipun disinggungdalam ilmu semantik. Ilmu ini memperhatikan tabu sebagai penyebab perubahan makna kata. Sejumlah kata yang ditabukan tidak dipakai kemudian diganti dengan kata lain yang sudah mempunyai makna tersendiri.
Dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam bahasa daerah, seringkali dikatakan wanita lebih banyak menghindari penggunaan kata-kata kotor . kata-kata tersebut sepertinya ditabukan oleh wanita atau seolah-olah menjadi monopoli pria.
            Di Zulu, Afrika, seorang istri tidak diperbolehkan menyebutkan nama mertua laki-laki atau saudara laki-laki mertua tersebut. Jika itu dilanggar, istri bisa dibunuh.  Dalam bahasa Zulu ada kata-kata tertentu yang tabu digunakan oleh wanita.
            Di Malaysia juga terdapat kata-kata yang ditabukan, misalnya kata butuh ditabukan karena dianggap porno.
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Penggunaan Bahasa antara Pria dan Wanita
Teori Sistem Kekerabatan dalam Mayarakat
Perbedaan kosakata bukan karena masalah tabu akan tetapi akibat dari system kekerabatan dan system jenis kelamin. Sehingga dibedakan menjadi dua jenis  yaitu :
a.     Berdasarkan jenis kelamin penutur
Perbedaan kata didasarkan atas jenis kelamin penutur atau penyapa. Sebagaimana terjadi pada bahasa orang Indian Amerika. Dimana ketika menyebut kata “ayah saya” antara pria dan wanita berbeda dalam mengucapkannya.
Contoh :
Kata
Penutur Pria
Penutur Wanita
ayah saya”
   ijai
Isupu
“ibu saya“
   ipaki
Ipapa

b.    Berdasarkan jenis kelamin yang disapa
Pada dasarnya pada tipe ini penutur pria maupun wanita mengucapkan kata yang sama untuk memanggil orang yang disapa. Disini yang perlu diperhatikan adalah orang yang disapa jenis kelaminnya wanita ataukah pria.
Contoh :
Ketika memanggil paman dan bibi baik


Penutur Pria
Penutur Wanita
Paman 
paman 
paman 
Bibi
bibi
Bibi
        
Konservatif dan Inovatif
Ragam bahasa yang digunakan oleh wanita lebih kuna dibandingkan dengan pria. Dimana tutur wanita lebih konservatif sedangkan pria bersifat inovatif atau pembaharuan. Gejala ini terjadi pada bahasa Chukchi, suatu bahasa yang digunakan di Serbia. Dalam bahasa ini wanita mempunyai konsonan intervokal pada beberapa kata, terutama /n/ dan /t/ yang tidak ada pada ragam pria.
Contoh
Pria                  : nitvaqaat
Wanita              : nitvaqanat à ada huruf “n” diantara huruf a

Sikap Sosial dan Kejantanan
            Bahasa kaum wanita bersifat intuitif penuh pertimbangan. Kata, bunyi dan tata kalimat pada bahasa dan kaum wanita memberi sumbangan cukup besar dalam membangun gaya dalam berkomunikasi yang lebih sopan.(Lakoff, 1975, 1977).
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi tata bahasa kelas social, etnik, umur, para wanita secara konsekuen menggunakan bentuk-bentuk yang lebih mendekati bentuk-bentuk ragam baku atau logat dengan prestise tinggi dibandingkan dengan bentuk-bentuk yang digunakan pria. Akan tetapi pria dan wanita dibandingkan persentase wanita untuk semua kelas social selalu lebih daripada pria. Kaum wanita lebih peka terhadap dinodainya ciri kalimat baku itu, lebih setia pada gramatikal yang benar.  Para ahli membuat terkaan-terkaan antara lain :
a)     Kaum wanita pada umumnya lebih sadar kedudukannya daripada pria
b)    Tutur kelas pekerja mempunyai konotasi kejantanan, yang mengakibatkan kaum pria cenderung lebih menyukai bentuk bahasa yang nonbaku ( menyimpang dari yang baik).
Ragam bahasa berdasarkan kelompok etnik dan kelompok social adalah akibat dari jarak sosial, sedangkan ragam bahasa berdasarkan jenis kelamin adalah akibat dari perbedaan social.
Prestise Tersembunyi
Nilai sosial (social value) dan peranan jenis kelamin (sexs roles) dapat mempengaruhi sikap penutur terhadap sesuatu variasi kebahasaan tertentu. Penutur yang memperhatikan tuturannya secara linguistik akan cenderung untuk menggunakan ragam bahasa yang melambangkan status prestise ini, dan ini tampak pada wanita.
Ada pendapat yang berkeyakinan bahwa ragam bahasa nonbaku dan kelas buruh rendahan itu juga mempunyai “prestise” dan ini khusus dimiliki oleh pria (yang umumnya adalah pekerja rendahan). Labov menanamkan jenis prestise ini sebagai  prestise tersembunyi atau prestise terselubung (cover prestige), sikap ini tidak diungkapkan dengan nyata dan terbuka. Bagi pria di Norwich (dan mungkin bagi pria dimana saja) tutur kelas buruh adalah penuh status (stastusful) dan berprestise (prestigious). Perbedaan ini menyebabkan perbedaan ragam bahasa yang digunakan oleh pria dan wanita.
Tutur wanita, dalam masyarakat Koasati, terutama pada masyarakat Chuckhi, lebih konservatif dari pada pria. Artinya perubahan bahasa dipelopori oleh pria. Namun apabila terdapat sejenis ragam bahasa berstatus tinggi atau bernorma nasional (bukan regional, bukan dialek) perubahan ke arah norma ini lebih sering dipelopori oleh wanita. Di Hillsbore, Carilona utara misalnya, wanita menjadi pelopor perubahan dari norma prestise lama ke norma prestise yang baru.
Perkembangan semacam itu juga terjadi di daerah Larvik di Norwich Selatan, dimana perubahan bahasa sedang terjadi. Di sini bentuk-bentuk yang berasal dari kota tersebar ke daerah pedalaman dan mengambil alih persebaran benetuk-bentuk lama asal pedesaan dan berstatus rendah. Kita dapat membedakan dalam beberapa keluarga dalam tiga tahap :
1.     Para bapak di wilayah pedesaan akan lebih konservatif pada anak-anak laki-laki mereka.
2.     Anak laki-laki lebih konservatif dari pada ibu-ibu dan saudara-saudara perempuan mereka.
3.     Para wanita lebih banyak kemungkinannya menggunakan bentuk-bentuk perkotaan yang lebih tinggi prestisenya daripada bentuk-bentuk pedesaan, dan secara keseluruhan menjadi satu generasi lebih maju daripada penutur pria.
Di Norwich wanitalah yang sebagai pelopor, meskipun perubahan yang terjadi agak kacau. Variabel yang diteliti di Norwich adalah vokal dalam kata seperti top, hot, dog. Lafalya ada dua jenis yaitu vokal-bundar (round vowel) seperti /o/ dalam tokoh dan vokal tak bundar (unrounded vowel) seperti /a/.

KESIMPULAN
Wanita dan  pria memiliki karakteristik yang berbeda dan kemampuan verbalnyapun berbeda. Perbedaan kemampuan verbal sering disebabkan oleh factor gerak anggota badan dan ekspresi wajah, suara dan intonasi, fonem sebagai ciri pembeda, pendidikan, pekerjaan, social dan kejantanan.
Perbedaan bahasa bukan berarti dua bahasa yang sama sekali berbeda dan terpisah, tetapi bahasa mereka tetap satu, hanya saja dalam pemakaian bahasa lelaki dan perempuan mempunyai ciri-ciri yang berbeda. Wanita lebih mempertahankan bahasa mereka (konservatif) sedangkan pria bersifat inovatif dan pembaharuan.
Suatu variasi bahasa adakalanya tabu untuk wanita, karena biasanya sering dihubungkan dengan hubungan perkerabatan, berburu, atau keagamaan sehingga orang-orang harus menghindari kata-kata tertentu, atau bunyi-bunyi tertentu dalam kata.

DAFTAR PUSTAKA
Sumarsono, dkk. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA
Lauder, Multamia R.M.T. dan Basuki Sahardi. 1988. Sikap Kebahasaan Kaum Wanita. Jakarta: Makalah Seminar Sosiolinguistik II.
Elyan, Olwen et al. 1988. RP accented female speech: The Voice of Perceived Androgyny, dalam language, Gender, and Society.  Rowley Newbury House.
Suhardi, Basuki. 1987. Perkembangan Pemakai Bahasa Indonesia Menurut Sensus Penduduk1971 dan Sensus Penduduk 1980, dalam Muhadjir dkk. (eds.), Bahasa Indonesia Tahun 2000. Jakarta: FSUI.
Ohoiwutun, Paul. 1997. Sosiolinguistik memahami bahasa dalam konteks dan kebudayaan. Jakarta: Kesaint Blanc.

0 komentar:

Posting Komentar