Sosiolinguistik
menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakaian bahasa itu
dalam masyarakat, sehingga memandang bahasa sebagai sistem sosial dan sistem
komunikasi. Pemakaian bahasa (language Use) merupakan bentuk interaksi sosial
yang terjadi dalam situasi kongkret (Apple, 1976:9). Dengan demikian bahasa
tidak hanya sebagai gejala individual, tetapi juga sebagai gejala sosial.
Sebagai
gejala sosial bahasa dan pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor
linguistik, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan situasional. Faktor
sosial misalnya: status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi,
jenis kelamin, dsb. Faktor situasional misalnya: siapa yang berbicara, dengan
bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa.
Aspek
pembeda kebahasaan yang tidak selalu ada dalam bahasa, yaitu jenis kelamin.
Menurut penelitian memang ada sejumlah masyarakat tutur pria dengan tutur
wanita. Dalam penelitian-penelitian linguistik kadang-kadang wanita tidak
dipakai sebagai informan karena alasan-alasan tertentu. Seks dalam bab ini
dimaksudkan adalah jenis kelamin penutur suatu bahasa. Dalam pemakaian bahasa
hubungan antara bahasa, kosa kata, dan jenis kelamin penuturnya dapat ditinjau
secara sosiolinguistik.
Dalam
pemakaian bahasa hubungan antara bahasa, kosa kata dan jenis kelamin penuturnya
dapat ditinjau secara sosiolinguistik. Aspek pembeda kebahasaan yang tidak
selalu ada dalam bahasa yaitu jenis kelamin. Berdasarkan penelitian terdapat
sejumlah masyarakat tutur pria yang berbeda dengan masyarakat tutur
wanita.
2.1.
Penelitian di Indonesia Tentang Bahasa dan Gender
Penelitian
ragam bahasa pria dan wanita di Indonesia belum banyak dilakukan. Salah satu
diantara yang sedikit adalah penelitian Multamia Lauder dan Basuki Sahardi
(1988) tentang sikap kebahasaan kaum wanita di sebagian kota Jakarta. Ubahan
(variabel) yang diteliti adalah usia, pekerjaan, pendidikan, lama tinggal di
Jakarta, status, dan ini dikaitkan dengan sikap-sikap bahasa mereka, lalu
dilihat perbedaan sikap itu pada pria san wanita.
Secara umum dapat dikatakan sikap
kebahasan wanita cenderung mendua. Artinya, ada semacam kontroversi atau
pertentangan sikap. Di satu pihak, berdasarkan analisis dari segi usia,
pekerjaan, maupun pendidikan, kaum wanita itu tidak begitu menganggap penting
penguasaan bahasa-ibu. Namun, di pihak lain, wanita ternyata lebih banyak
menjadi anggota perkumpulan sosial yang berbahasa-ibu; lebih banyak wanita yang
menginginkan agar anak-anaknya lebih banyak berbahasa-ibu daripada berbahasa
Indonesia, dibandingkan dengan pria. Dalam kedua hal ini ternyata wanita lebih
konservatif daripada pria.
Penelitian
di atas mengatakan ditinjau secara umum, dalam hal-hal yang berkaitan dengan dirinya
sendiri, wanita selalu cenderung mengarah kepada pemakaian bahasa Indonesia.
Namun, dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah keluarga ada kecenderungan
pada wanita untuk mempertahankan bahasa-ibu.
Sikap
wanita yang mendua sejalan dengan dugaan Elyan dkk. (1988) Wanita itu bersifat
“androgini” (mendua). Menurut Elyan, wanita-wanita di kota-kota besar cenderung
mendua; mereka ingin maju dan kuat (perkasa) seperti pria, namun tidak mau
kehilangan kefemininannya.
Namun,
menurut data sensus, baik sensus tahun 1970 maupun sensus tahun 1980, pria
lebih banyak yang mampu berbahasa Indonesia daripada wanita. Mengapa pria lebih
banyak mampu berbahasa Indonesia? Basuki Suhardi (1987) mengira, hal itu ada
kaitannya dengan tingkat pendidikan yang dicapai oleh pria. Jumlah laki-laki
yang memperoleh pendidikan formal, dari SD sampai dengan perguruan tinggi,
berdasarkan data sensus, memang lebih banyak dibandingkan wanita.
2.2
Perbedaan Intonasi, dan Fonem Antara Pria dan Wanita
Dalam
penelitian-penelitian linguistik kadang-kadang wanita tidak dipakai sebagai
informan karena alasan-alasan tertentu. Wanita cenderung mempunyai sikap
“hiperkorek” sehingga dianggap mengaburkan situasi yang sebenarnya dikehendaki
oleh peneliti. Namun, dilain pihak, adapula linguis yang cenderung memakai
wanita sebagai responden.
Perbedaan
pria dengan wanita mungkin tidak langsung menyangkut masalah bahasa atau
strukturnya, melainkan hal-hal lain yang menyertai tuturan. Hal-hal lain
tersebut antara lain adalah : gerak anggota badan, dan ekspresi wajah.
Misalnya: dalam masyarakat Jawa, jika orang mempersilahkan orang lain yang
dihormati untuk duduk ia akan ”mengacungkan ibu jarinya” untuk menunjukan
tempat yang disediakan tamunya. Gerakan kepala dan ancungan ibu jari itu adalah
gesture, yang berlaku untuk semua orang tanpa membedakan jenis kelamin.
Dalam
hal ekspresi wajah, dalam Bahasa Jawa ada sejumlah kata yang berkisar pada “permainan”
mata atau bibir yang mencerminkan ekspresi wajah, dan banyak digunakan pada
wanita daripada pria.
Misalnya,
kalau jengkel, tidak berkenan tersinggung, matanya akan meleruk (Jawa),
sedangkan pria akan melotot, wajahnya bisa mbesengut/mrengut Jawa). Bibirnya
bisa mencucu (Jawa) atau mungkin menjeb (Jawa).
Jenis
suara wanita berbeda dengan jenis suara pria. Jenis suara wanita misalnya alto
dan sopran sedangkan pria ada suara tenor dan bas.
Dalam
hal intonasi, antara wanita dan pria juga berbeda. Misalnya intonasi
‘memanjang’ pada bagian akhir kalimat lebih banyak wanita. Intonasi manja khas
pada wanita atau aleman dalam bahasa Jawa. Bahasa ‘kenes’ lembut dan lambat
tidak biasa diakukan pria.
Vokal
pada tuturan wanita, dalam banyak logat atau ragam bahasa Inggris Amerika,
telah ditempukan posisi lebih “meminggir” atau “menepi” (lebih kedepan, ke belakang,
lebih tinggi atau lebih rendah) dibanding vocal pria.
Ada
dua fonem yang khusus untuk pria dan untuk wanita dalam bahasa Yukaghir, Asia
Timur Laut. Keduanya dilafalkan sama oleh anak-anak. Lafal kanak-kanak ini sama
dengan lafal yang dipakai oleh wanita dewasa tetapi berbeda dengan pelafalan
wanita usia tua. Lafal pria dewasa berbeda dengan lafal pada waktu kanak-kanak
dan berbeda pula saat sudah tua.
Kanak-kanak
|
Dewasa
|
Tua
|
P : /tz/, /dz/
|
/tj/, /dj/
|
/cj/,/jj/
|
W : /tz/, /dz/
|
/tz/,/dz/
|
/cj/,/jj/
|
Tampak
bahwa wanita hanya sekali mengubah lafalnya, sedangkan pria terjadi dua kali
perubahan lafal.
Perbedaan
ragam pria-wanita mungkin tidak hanya berkisar pada tataran fonologi, melainkan
juga pada tataran morfologi, kosakata, dan kalimat. Perbedaan-perbedaan bahasa
ini tidak dapat diterangkan berdasarkan perbeadan sosial, dialek geografis atau
etnik. Karena itu kita harus mencari penyebab yang lain, sebagaimana kita lihat
pada paparan berikut.
Ketika
orang-orang Eropa pertama kali tiba di Kepulauan Antillen kecil, dan Hindia
Barat, mereka langsung mengadakan kontak dengan orang Indian Karibia yang
tinggal di sana, mereka menemukan pria dan wanita menggunakan bahasa yang
berbeda. Pria mempunyai kosakata dan frase yang khusus untuk mereka. Para
wanitanya pun memiliki kosakata yang khusus digunakan untuk kaumnya, bila
kosakata tersebut digunakan oleh pria maka akan dicemooh.
Penduduk
pribumi kepulauan Dominika, menyatakan bahwa perbedaan tersebut dikarenakan adanya
pemberontakan orang karibia. Para pria suku Arawak dibunuh dan para
perempuannya dinikahi. Sehingga bahasa kaum pria berbeda dengan bahasa kaum
wanita. Tetapi hal tersebut tidak dapat dibuktikan, sehingga hal tersebut hanya
dugaan saja.
Seorang ahli bahasa, Otto Jespersen,
memberikan penjelasan lain. Ia mengemukakan perbedaan itu mungkin akibat gejala
tabu. Bila kaum pria Karibia akan maju ke medan perang, mereka menggunakan
sejumlah kata yang tidak boleh diucapakn para wanita dan anak-anak, karena bila
aturan tersebut dilanggar maka akan terjadi malapetaka.
2.3
Teori Tabu dalam Masyarakat
Tabu
berasal dari kata taboo yang dipungut dari bahasa Tonga, yang merupakan salah
satu bahsa dari rumpun bahasa polinesia. Kata taboo merujuk pada tindakan yang
dilarang atau harus dihindari. Bila tindakannya dilarang maka bahasa atau
kata-kata yang merupakan symbol dari tindakan itupun dilarang. (Paul Ohoiwutun,
1997: 94).
Tabu
memang berperan penting dalam bahasa. Masalah inipun disinggungdalam ilmu
semantik. Ilmu ini memperhatikan tabu sebagai penyebab perubahan makna kata.
Sejumlah kata yang ditabukan tidak dipakai kemudian diganti dengan kata lain
yang sudah mempunyai makna tersendiri.
Dalam
masyarakat Indonesia, terutama dalam bahasa daerah, seringkali dikatakan wanita
lebih banyak menghindari penggunaan kata-kata kotor . kata-kata tersebut
sepertinya ditabukan oleh wanita atau seolah-olah menjadi monopoli pria.
Di Zulu, Afrika, seorang istri tidak
diperbolehkan menyebutkan nama mertua laki-laki atau saudara laki-laki mertua
tersebut. Jika itu dilanggar, istri bisa dibunuh. Dalam bahasa Zulu ada kata-kata tertentu yang
tabu digunakan oleh wanita.
Di Malaysia juga terdapat kata-kata
yang ditabukan, misalnya kata butuh ditabukan karena dianggap porno.
2.4
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Penggunaan Bahasa antara Pria dan
Wanita
Teori Sistem Kekerabatan
dalam Mayarakat
Perbedaan
kosakata bukan karena masalah tabu akan tetapi akibat dari system kekerabatan
dan system jenis kelamin. Sehingga dibedakan menjadi dua jenis yaitu :
a. Berdasarkan
jenis kelamin penutur
Perbedaan
kata didasarkan atas jenis kelamin penutur atau penyapa. Sebagaimana terjadi
pada bahasa orang Indian Amerika. Dimana ketika menyebut kata “ayah saya”
antara pria dan wanita berbeda dalam mengucapkannya.
Contoh :
Kata
|
Penutur
Pria
|
Penutur
Wanita
|
“ayah
saya”
|
ijai
|
Isupu
|
“ibu saya“
|
ipaki
|
Ipapa
|
b. Berdasarkan
jenis kelamin yang disapa
Pada
dasarnya pada tipe ini penutur pria maupun wanita mengucapkan kata yang sama
untuk memanggil orang yang disapa. Disini yang perlu diperhatikan adalah orang
yang disapa jenis kelaminnya wanita ataukah pria.
Contoh :
Ketika memanggil paman dan bibi baik
|
Penutur
Pria
|
Penutur
Wanita
|
Paman
|
paman
|
paman
|
Bibi
|
bibi
|
Bibi
|
Konservatif dan Inovatif
Ragam
bahasa yang digunakan oleh wanita lebih kuna dibandingkan dengan pria. Dimana
tutur wanita lebih konservatif sedangkan pria bersifat inovatif atau
pembaharuan. Gejala ini terjadi pada bahasa Chukchi, suatu bahasa yang digunakan
di Serbia. Dalam bahasa ini wanita mempunyai konsonan intervokal pada beberapa
kata, terutama /n/ dan /t/ yang tidak ada pada ragam pria.
Contoh
Pria :
nitvaqaat
Wanita :
nitvaqanat à ada huruf “n” diantara huruf a
Sikap Sosial dan Kejantanan
Bahasa kaum wanita bersifat intuitif
penuh pertimbangan. Kata, bunyi dan tata kalimat pada bahasa dan kaum wanita
memberi sumbangan cukup besar dalam membangun gaya dalam berkomunikasi yang
lebih sopan.(Lakoff, 1975, 1977).
Faktor-faktor
lain yang mempengaruhi tata bahasa kelas social, etnik, umur, para wanita
secara konsekuen menggunakan bentuk-bentuk yang lebih mendekati bentuk-bentuk
ragam baku atau logat dengan prestise tinggi dibandingkan dengan bentuk-bentuk
yang digunakan pria. Akan tetapi pria dan wanita dibandingkan persentase wanita
untuk semua kelas social selalu lebih daripada pria. Kaum wanita lebih peka
terhadap dinodainya ciri kalimat baku itu, lebih setia pada gramatikal yang
benar. Para ahli membuat terkaan-terkaan
antara lain :
a) Kaum
wanita pada umumnya lebih sadar kedudukannya daripada pria
b) Tutur
kelas pekerja mempunyai konotasi kejantanan, yang mengakibatkan kaum pria
cenderung lebih menyukai bentuk bahasa yang nonbaku ( menyimpang dari yang
baik).
Ragam
bahasa berdasarkan kelompok etnik dan kelompok social adalah akibat dari jarak
sosial, sedangkan ragam bahasa berdasarkan jenis kelamin adalah akibat dari
perbedaan social.
Prestise Tersembunyi
Nilai
sosial (social value) dan peranan jenis kelamin (sexs roles) dapat mempengaruhi
sikap penutur terhadap sesuatu variasi kebahasaan tertentu. Penutur yang
memperhatikan tuturannya secara linguistik akan cenderung untuk menggunakan
ragam bahasa yang melambangkan status prestise ini, dan ini tampak pada wanita.
Ada
pendapat yang berkeyakinan bahwa ragam bahasa nonbaku dan kelas buruh rendahan
itu juga mempunyai “prestise” dan ini khusus dimiliki oleh pria (yang umumnya
adalah pekerja rendahan). Labov menanamkan jenis prestise ini sebagai prestise tersembunyi atau prestise
terselubung (cover prestige), sikap ini tidak diungkapkan dengan nyata dan
terbuka. Bagi pria di Norwich (dan mungkin bagi pria dimana saja) tutur kelas
buruh adalah penuh status (stastusful) dan berprestise (prestigious). Perbedaan
ini menyebabkan perbedaan ragam bahasa yang digunakan oleh pria dan wanita.
Tutur
wanita, dalam masyarakat Koasati, terutama pada masyarakat Chuckhi, lebih
konservatif dari pada pria. Artinya perubahan bahasa dipelopori oleh pria.
Namun apabila terdapat sejenis ragam bahasa berstatus tinggi atau bernorma nasional
(bukan regional, bukan dialek) perubahan ke arah norma ini lebih sering
dipelopori oleh wanita. Di Hillsbore, Carilona utara misalnya, wanita menjadi
pelopor perubahan dari norma prestise lama ke norma prestise yang baru.
Perkembangan
semacam itu juga terjadi di daerah Larvik di Norwich Selatan, dimana perubahan
bahasa sedang terjadi. Di sini bentuk-bentuk yang berasal dari kota tersebar ke
daerah pedalaman dan mengambil alih persebaran benetuk-bentuk lama asal
pedesaan dan berstatus rendah. Kita dapat membedakan dalam beberapa keluarga
dalam tiga tahap :
1. Para
bapak di wilayah pedesaan akan lebih konservatif pada anak-anak laki-laki
mereka.
2. Anak
laki-laki lebih konservatif dari pada ibu-ibu dan saudara-saudara perempuan
mereka.
3. Para
wanita lebih banyak kemungkinannya menggunakan bentuk-bentuk perkotaan yang
lebih tinggi prestisenya daripada bentuk-bentuk pedesaan, dan secara
keseluruhan menjadi satu generasi lebih maju daripada penutur pria.
Di
Norwich wanitalah yang sebagai pelopor, meskipun perubahan yang terjadi agak
kacau. Variabel yang diteliti di Norwich adalah vokal dalam kata seperti top,
hot, dog. Lafalya ada dua jenis yaitu vokal-bundar (round vowel) seperti /o/
dalam tokoh dan vokal tak bundar (unrounded vowel) seperti /a/.
KESIMPULAN
Wanita
dan pria memiliki karakteristik yang
berbeda dan kemampuan verbalnyapun berbeda. Perbedaan kemampuan verbal sering
disebabkan oleh factor gerak anggota badan dan ekspresi wajah, suara dan
intonasi, fonem sebagai ciri pembeda, pendidikan, pekerjaan, social dan
kejantanan.
Perbedaan
bahasa bukan berarti dua bahasa yang sama sekali berbeda dan terpisah, tetapi
bahasa mereka tetap satu, hanya saja dalam pemakaian bahasa lelaki dan
perempuan mempunyai ciri-ciri yang berbeda. Wanita lebih mempertahankan bahasa
mereka (konservatif) sedangkan pria bersifat inovatif dan pembaharuan.
Suatu
variasi bahasa adakalanya tabu untuk wanita, karena biasanya sering dihubungkan
dengan hubungan perkerabatan, berburu, atau keagamaan sehingga orang-orang
harus menghindari kata-kata tertentu, atau bunyi-bunyi tertentu dalam kata.
DAFTAR PUSTAKA
Sumarsono,
dkk. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA
Lauder,
Multamia R.M.T. dan Basuki Sahardi. 1988. Sikap Kebahasaan Kaum Wanita.
Jakarta: Makalah Seminar Sosiolinguistik II.
Elyan,
Olwen et al. 1988. RP accented female speech: The Voice of Perceived Androgyny,
dalam language, Gender, and Society.
Rowley Newbury House.
Suhardi,
Basuki. 1987. Perkembangan Pemakai Bahasa Indonesia Menurut Sensus Penduduk1971
dan Sensus Penduduk 1980, dalam Muhadjir dkk. (eds.), Bahasa Indonesia Tahun
2000. Jakarta: FSUI.
Ohoiwutun,
Paul. 1997. Sosiolinguistik memahami bahasa dalam konteks dan kebudayaan.
Jakarta: Kesaint Blanc.
Sumber : http://nickma-jpr.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar