Abu ‘Ashim Muhtar Arifin, Lc.
Nama Imam Syafi’i rohimahulloh tak asing
lagi di telinga kaum muslimin. Bahkan kebanyakan kaum muslimin di negeri ini
menisbatkan dirinya kepada madzhab beliau rohimahulloh. Untuk itulah, perlu kiranya kita
mengetahui bagaimana Imam Syafi’i ini mewajibkan para penuntut ilmu agar
kembali merujuk kepada dalil-dalil syar’i dalam mempelajari ilmu syar’i.
Mutiara Emas Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i rohimahulloh telah membuat
perumpamaan bagi penuntut ilmu syar’i yang tidak berdasarkan hujjah. Beliau
berkata:
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ
كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ
لاَ يَدْرِيْ.
“Perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa
hujjah adalah seperti orang yang mencari kayu bakar pada malam hari, ia membawa
seikat kayu, di mana di dalamnya terdapat ular yang siap mematuknya, sedangkan
dia tidak mengetahuinya.” (Manaqib Syafi’i, karya al-Baihaqi, jilid 2, hal.
143; al-Madkhol, karya beliau juga, no. 262, hal. 211; Hilyah al-Auliya`, jilid
IX, hal. 125; Adab asy-Syafi’i, karya Abu Hatim, hal. 100; Tawaali at-Ta`siis,
karya al-Hafidz Ibnu Hajar, hal. 135)
Dari pernyataan ini dapat diketahui bahwa
beliau rohimahulloh menganjurkan para penuntut ilmu ketika menuntut ilmu harus
berdasarkan kepada hujjah yang berasal dari al-Qur`an dan Sunnah Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Apabila seseorang mempelajari ilmu agama,
akan tetapi tidak merujuk kepada sumbernya yang asli, yaitu Kitabulloh dan
Sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka bisa saja ia akan
mendapatkan masalah-masalah yang disangka termasuk agama, padahal bukan,
sehingga akibatnya dapat terjatuh ke dalam penyimpangan.
Makna Ilmu
Para ulama telah menjelaskan bahwa kata
ilmu apabila disebutkan secara mutlak dalam al-Qur`an, as-Sunnah, dan ungkapan
para ulama adalah ilmu syar’i.
Imam Syafi’i rohimahulloh sendiri telah
menyatakan:
كُلُّ الْعُلُوْمِ سِوَى الْقُرْآنِ مَشْغَلَةٌ
إِلاَّ الْحَدِيْثَ وَعِلْمَ الْفِقْهِ فِي الدِّيْنِ
الْعِلْمُ مَا كَانَ فِيْهِ قَالَ حَدَّثَنَا
وَمَا سِوَى ذَلِكَ وَسْوَاسُ الشَّيْطَانِ
Setiap ilmu selain al-Qur`an adalah
kesibukan, Kecuali al-Hadits dan ilmu tentang
pemahaman agama.
Ilmu itu apa yang padanya mengandung
“ungkapan telah menyampaikan kepada kami” (sanad).
Sedangkan selain itu, adalah
bisikan-bisikan setan. (Diwan Imam Syafi’i, hal. 30, Darul Manar)
Selain beliau, Syaikh Bin Bazz telah
menyatakan, “Sesungguhnya (kata) ilmu itu dilontarkan untuk banyak hal, akan
tetapi menurut para ulama Islam, yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i.
Inilah yang dimaksud dalam Kitabulloh dan Sunnah RosulNya shollallohu ‘alaihi
wa sallam secara mutlak, yaitu ilmu tentang Alloh, Asma’-Nya, SifatNya, ilmu
tentang hakNya atas hambaNya dan tentang segala sesuatu yang disyariatkan untuk
mereka oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala.“ (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah,
jilid 23, hal. 297)
Dalam muqoddimah Kitab al-‘Ilm, Syaikh
‘Utsaimin juga menjelaskan, “Yang kami maksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i.
yaitu ilmu yang diturunkan oleh Alloh kepada RosulNya yang berupa bukti-bukti
yang nyata dan petunjuk. Jadi ilmu yang mengandung pujian adalah ilmu wahyu.”
(Kitab al-’Ilm, hal. 7)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ilmu
oleh Imam Syafi’i adalah ilmu syar’i.
Harus Berdasarkan Hujjah.
Hujjah adalah dasar dan landasan yang
dijadikan sebagai penguat ilmu syariat tersebut.
Dalam ar-Risalah, beliau menyatakan:
فَكُلُّ مَا أَنْزَلَ فِيْ كِتَابِهِ – جَلَّ
ثَنَاؤُهُ – رَحْمَةٌ وَحُجَّةٌ، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، جَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ.
“Semua yang diturunkan (oleh Alloh) dalam
kitabNya Jalla Tsanaa`uhu adalah rahmat dan hujjah. Orang yang mengetahuinya
akan mengetahuinya, orang yang tidak mengetahuinya juga tidak akan
mengetahuinya.” (Ar-Risalah, no. 43, hal. 19, tahqiq (diteliti) Syaikh Ahmad
Syakir.)
Al-Muzani atau ar-Robi’ pernah
menceritakan, “Kami pada suatu hari pernah berada di sisi Imam Syafi’i.
Tiba-tiba ada seorang syaikh yang memakai pakaian dari shuf (wol), sedangkan di
tangannya terdapat tongkat. Lalu asy-Syafi’i bangkit dan merapikan pakaiannya
dan syaikh itu memberi salam kepada beliau lalu duduk. Syafi’i melihat syaikh
tersebut dengan keadaan segan kepadanya.
Syaikh itu berkata, “Apakah aku boleh
bertanya kepadamu?”
Syafi’i menjawab, “Bertanyalah!”
Orang itu berkata, “Apakah hujjah dalam
agama Alloh?”
Asy-Syafi’i menjawab, “Kitabulloh.”
Syaikh itu bertanya, “Apa lagi?”
Asy-Syafi’i menjawab, “Ittifaq ummat”. (Siyar
A’laam an-Nubala`: X/83-84 dan Miftah al-Jannah, karya as-Suyuti , no. 159,
hal. 85-86)
Dalam sebuah atsar dari Imam Syafi’i yang
lainnya adalah:
مَنْ تَعَلمََّ الْقُرْآنَ عَظُمَتْ قِيْمَتُهُ،
وَمَنْ نَظَرَ فِي الْفِقْهِ نَبُلَ قَدْرُهُ، وَمَنْ كَتَبَ الْحَدِيْثَ قَوِيَتْ
حُجَّتُهُ، وَمَنْ نَظَرَ فِي اللُّغَةِ رَقَّ طَبْعُهُ، وَمَنْ نَظَرَ فِي الْحِسَابِ
جَزُلَ رَأْيُهُ، وَمَنْ لَمْ يَصُنْ نَفْسَهُ، لَمْ يَنْفَعْهُ عِلْمُهُ.
“Barangsiapa yang mempelajari al-Qur`an
maka kedudukannya menjadi agung, barangsiapa yang belajar fiqih maka
kehormatannya menjadi mulia, barangsiapa yang menulis Hadits maka hujjahnya
menjadi kuat, barangsiapa yang belajar bahasa maka tabiatnya menjadi lembut,
barangsiapa yang belajar berhitung maka pendapatnya menjadi kuat, barangsiapa
yang tidak menjaga dirinya maka ilmunya tidak dapat memberi manfaat kepadanya.”
(Tawaali at-Ta`siis bi Ma’ali Ibnu Idris, karya al-Hafidz Ibnu Hajar, hal. 136)
Salah satu ungkapan beliau tersebut adalah
“barangsiapa yang menulis Hadits, maka hujjahnya menjadi kuat”. Ini berarti
bahwa salah satu hujjah yang dijadikan dasar dan landasan dalam agama adalah
Hadits Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Dengan demikian, di antara hujjah yang
dapat dijadikan sebagai landasan ilmu agama adalah al-Qur`an dan Hadits
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam telah bersabda:
إِنِِّيْ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ
بهِ فَلَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا : كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan di
antara kalian sesuatu yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya
kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabulloh dan Sunnah NabiNya.”
(HR. Hakim I/71, no. 319. Dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shohih
at-Targhib wa at-Tarhib, no. 40, I/125.)
Maka kunci untuk dapat selamat dari
kesesatan adalah dengan berpegang kepada Kitabulloh dan Sunnah Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Ular yang Tersembunyipun Dapat
Menggigitnya.
Dalam wasiat tersebut, Imam Syafi’i
menjelaskan tentang resiko dan bahaya yang akan menimpa seorang penuntut ilmu
apabila tidak berdasarkan kepada hujjah dalam mempelajari ilmu yaitu akan
tersesat tanpa disadarinya.
Semoga Alloh merahmati beliau. Apabila
seseorang mempelajari ilmu syariat tanpa dasar al-Qur`an dan Hadits yang
shohih, maka akhirnya adalah berupa penyimpangan, kekeliruan dan kesesatan. Di
antara contohnya adalah:
1. Menyangka tauhid, padahal syirik.
Apabila tidak berdasarkan dalil dari
Kitabulloh atau Sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam
menetapkan aqidah tauhidulloh, maka bisa saja meyakini bahwa suatu masalah
adalah tauhid, padahal itu adalah kesyirikan kepada Alloh ‘Azza wa Jalla,
sedangkan Alloh telah berfirman:
٤٨. إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ
بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى
إِثْماً عَظِيماً
“Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni
dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Alloh, maka sungguh
ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. an-Nisa`: 48)
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda tentang bahayanya dalam Hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ الرحْمَنِ بْنِ أَبِيْ بَكْرَةَ
عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : قَالَ النِبي – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ : ((أَلاَ أُنَبِئُكُمْ
بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟))، ثَلاَثًا. قَالُوْا : بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ
: ((اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ)) .
Dari ‘Abdurrohman bin Abi Bakroh, dari
bapaknya ia berkata: Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Maukah
kalian aku beritahukan tentang dosa-dosa besar yang paling besar?” Beliau
shollallohu ‘alaihi wa sallam mengatakannya tiga kali. Mereka menjawab, “Ya,
wahai Rosululloh!” Beliau berkata, “Menyekutukan Alloh dan durhaka kepada kedua
orang tua.” (HR. Bukhori, no. 2564 dan Muslim, no. 87)
Demikian juga tentang para malaikat,
kitab-kitabNya, keterangan tentang para Nabi dan Rosul, hari akhir, qodho` dan
qodar, serta masalah-masalah aqidah yang lainnya. Dimungkinkan seorang penuntut
ilmu –yang tidak meruju’ kepada dalil syar’i- meyakini suatu keyakinan yang
bertentangan dengan dalil-dalil yang shohih yang ada.
2. Mengira sunnah, padahal bid’ah.
Apabila mempelajari perkara-perkara yang
disyariatkan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam akan tetapi tidak
kembali kepada al-Qur`an dan Hadits yang shohih dari beliau shollallohu ‘alaihi
wa sallam, tetapi hanya perpegang kepada pendapat Imam Fulan dan Imam Fulan
saja, maka bisa saja seseorang terjatuh dalam kebid’ahan, akan tetapi disangka
termasuk sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Padahal beliau telah
bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ
مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam
perkara kami ini (yaitu perkara agama) apa yang tidak termasuk bagian darinya,
maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhori, no. 2697 dan Muslim, 1718, sedangkan ini
lafal al-Bukhori.)
Apabila keadaannya demikian, maka
kerugianlah yang akan didapati.
3. Terjatuh ke dalam taklid yang
terlarang.
Tatkala seorang penuntut ilmu mengikuti
suatu pendapat di antara pendapat-pendapat ulama, akan tetapi tidak mengetahui
dalil yang dijadikan sebagai landasannya, maka telah terjatuh ke dalam taklid
yang terlarang.
Alloh telah berfirman:
٦٦. يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ
يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا
٦٧. وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا
وَكُبَرَاءنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا
٦٨. رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ
وَالْعَنْهُمْ لَعْناً كَبِيراً
“Pada hari ketika muka mereka
dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, “Alangkah baiknya, andaikata
kami taat kepada Alloh dan taat (pula) kepada Rosul.” Dan mereka berkata, “Ya
Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan
pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).
Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah
mereka dengan kutukan yang besar.” (QS. al-Ahzab: 66-68)
Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i menjelaskan
bahwa Thowus berkata:
سَادَتَنَا يَعْنِي اْلأَشْرَافَ، وَكُبَرَاءَنَا
يَعْنِي الْعُلَمَاءَ.
“Pemuka-pemuka kami yaitu orang-orang
mulia di antara kami, dan pembesar-pembesar kami yaitu para ulama.”
Kemudian beliau mengomentari atsar
tersebut, “Maksudnya adalah kami telah mengikuti para pemuka yaitu para
pemimpin dan orang-orang besar dari kalangan para syaikh dan kami telah
menyelisihi para Rosul. Kami dahulu telah berkeyakinan bahwa mereka memiliki
sesuatu (kebenaran, pen.) dan mereka di atas sesuatu (kebenaran, pen.),
ternyata mereka tidak berada di atas sesuatu (kebenaran, pen.).” (Tafsir
al-Qur`an al-‘Adzim, jilid 11, hal. 245, di-tahqiq (diteliti) oleh beberapa
pen-tahqiq.)
Al-Hajjaj bin Amr dahulu apabila bertemu,
berkata, “Wahai sekalian orang Anshor, apakah kalian ingin mengatakan kepada
Robb apabila kita menghadapNya, “Ya Robb, sesungguhnya kami dahulu telah
mengikuti para pemuka dan pembesar kami, maka merekapun menyesatkan kami. Ya
Robb kami, berikanlah kepada mereka dua kali lipat adzab dan laknatlah mereka
dengan laknat yang besar.”” (Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, hal. 246)
Selain itu, Imam Syafi’i juga telah
melarang bertaklid kepada beliau dalam mutiaranya:
كُلُ مَا قُلْتُ – فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ صلى
الله عليه وسلم خِلاَفُ قَوْلِيْ مِمَّا يَصِح – فَحَدِيْثُ النَّبِيِّ أَوْلَى، فَلاَ
تُقَلِّدُوْنِيْ.
“Segala perkataanku, apabila apa yang
shohih dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menyelisihi perkataanku,
maka Hadits Nabi itulah yang lebih pantas untuk diikuti. Janganlah kalian
bertaklid kepadaku.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Asakir dan
sanadnya dishohihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat Shifat ash-Sholah, hal. 52.)
4. Menyangka suatu amalan mengandung
keutamaan, padahal terdapat penyimpangan.
Tatkala dalil syar’i ditinggalkan dalam
mempelajari ilmu syar’i, maka seseorang akan memperhatikan dan mengagungkan
suatu amalan yang disangka mengandung keutamaan, padahal amalan tersebut
menyimpang.
Imam Nawawi telah menyatakan:
لَيْسَ يَكْفِيْ فِي الْعِبَادَاتِ صُوَرُ الطَّاعَاتِ،
بَلْ لاَ بُدَّ مِنْ كَوْنِهَا عَلَى وِفْقِ الْقَوَاعِدِ الشَّرْعِيَّاتِ.
“Dalam melakukan ibadah-ibadah, tidaklah
cukup hanya dengan bentuk-bentuk ketaatan, akan tetapi harus sesuai dengan
kaidah-kaidah syariat.” (Muqoddimah al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 1,
hal. 3, tahqiq Dr. Mahmud Mathroji, Darul Fikr, cet. 1, 1417 H, Beirut)
5. Apabila mendakwahkan kesesatan, maka
akan menyesatkan.
Apabila perkara-perkara yang termasuk
syirik, atau kekufuran atau kebid’ahan atau penyimpangan-penyimpangan syariat
disampaikan kepada orang lain, maka orang yang menyampaikan ilmu syar’i tanpa
dalil tersebut akan menjadi penyesat bagi orang lain.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا
يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ،
حَتَى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا، اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّلاَءَ، فَسُئِلُوْا
فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا.
“Sesungguhnya Alloh tidak mencabut ilmu
itu dengan mencabutnya dari hamba-hambaNya, akan tetapi mencabut ilmu dengan
mewafatkan para ulama. Sampai apabila tidak tersisa satu orang alimpun, maka
manusia akan mengangkat para pemimpin atau penguasa yang jahil (bodoh-bodoh),
lalu mereka ditanya, lalu mereka berfatwa tanpa didasari dengan ilmu, maka
merekapun tersesat dan menyesatkan (orang lain).” (HR. Bukhori, no. 100, 7308
dan Muslim, no. 2673)
Al-Hafidh Ibnu Hajar asy-Syafi’i
mengatakan, “Dalam Hadits ini terdapat (penjelasan) bahwa berfatwa adalah
kepemimpinan yang hakiki dan celaan bagi yang melakukannya tanpa ilmu.” (Fath
al-Bari, I/258 Darus Salam, Riyadh, cet. 1, 1421/2000M)
Sumber : http://www.majalahislami.com
0 komentar:
Posting Komentar