Senin, 11 Januari 2016

Ketika Mereka (Difabel) Dianaktirikan

Oleh : Khairuddin Arafat

Miris. Kata itulah yang mewakili judul di atas. Sebagaimana warga negara, mereka juga berhak mendapatkan perhatian, dan pendidikan yang setara dengan masyarakat lainnya. Akan tetapi, mereka malah dianaktirikan. Begitulah pesan yang tergambarkan ketika penulis berkunjung ke DPD Pertuni Sumatera Utara, Jalan Sampul, Medan tahun 2014 silam.


Meski sudah banyak sekolah maupun perguruan tinggi yang mau menerima penyandang disabilitas ini, akan tetapi proses pembelajaran kurang bisa diikuti mereka karena keterbatasan yang dimiliki. Ironis memang. Tapi begitulah keadaannya.

Tak hanya itu, kaum difabel ini juga sering mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari tenaga pendidik. Ya, tenaga pendidik acap mendiskreditkan keadaan mereka.

Seperti di Kota Medan, sebut Ketua Biro Penelitian dan Pengembangan Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Tuna Netra Indonesia (DPD Pertuni) Sumatera Utara, Lindawati Spd, proses pembelajarannya masih kurang bisa diikuti. Kalaupun bisa, harus fasilitas sendiri. "Saya dan adik-adik sendiri harus miliki laptop yang bisa membaca teks. Kalau akses peralatan di kampus agak sulit, karena semuanya masih peralatan standar. Itu yang membuat kita kesulitan," ungkap penyandang tunanetra ini.

Bahkan, sambung Linda, fasilitas perpustakaan di kampus juva kurang memadai bagi mereka. Sebab, belum ada perpustakaan yang menyediakan huruf braile. Meskipun ada perpustakaan online yang pengoperasiannya/pencarian buku melalui sistem online, namun mereka tidak bisa mengakses sendiri, karena belum ada software pembaca teks. "Jadinya kita bergantungan terus sama orang. Untuk mengatasi hal ini, kita harus pakai scanner untuk mengcopy-paste tulisan ke komputer, setelah itu baru dibaca komputer melalui bantuan pembaca teks," ujarnya.

Buku ada, sambungnya, hanya saja buku seperti ini hanya ada seperti di Sekolah Luar Biasa (SLB). Begitu juga dengan perpustakaan daerah yang menyediakan buku-buku yang bagus untuk kaum difabel. "Hanya saja, ini masih terbatas. Hanya di tempat-tempat tertentu saja. Tidak semua orang bisa ke sana (perpusatakaan daerah, RED) karena jaraknya jauh," ucapnya.

Selain itu, Linda mengomentari keberadaan SLB Negeri yang tidak ada dibuat secara khusus. Misalnya, sekolah A khusus hanya untuk tunanetra saja. "Seharusnya, satu sekolah itu terdiri dari gedung-gedung yang dapat menampung seluruh siswa difabel dengan jurusannya masing-masing, biar proses belajarnya lebih terarah. Contohnya gedung A,  khusus untuk tunanetra saja. Begitu juga dengan gedung B khusus tunarungu, gedung C untuk tunagraha, dan gedung D untuk tunadaksa. Sehingga pencapaian belajarnya lebih optimal. Ini yang menjadi harapan kita," sarannya.

Begitu juga dengan sistem pendidikan yang sangat kompleks seperti saat ini. Misalkan, seorang tenaga pengajar seperti guru dan dosen, mereka kurang mengerti tentang difabel. Seharusnya, seluruh universitas memberikan pengetahuan tentang Pendidikan Luar Biasa (PLB) kepada mahasiswanya. "Saya kira, setiap keguruan dan apapun jurusannya, harus diberikan pengetahuan PLB ini kepada mahasiswanya. Sebab, masih banyak guru-guru yang menganggap kaum difabel khususnya tunanetra sebagai beban. 'Saya mau ngajarin kalian bagaimana?' Ada yang bingung, tapi tetap belajar. Ada yang bingung, jadinya gak mau belajar. Akhirnya, menyisihkan kaum difabel ini. Itu yang harus dibekali oleh seluruh perguruan tinggi kepada mahasiswanya. Saya pikir, setiap perguruan tinggi juga harus ada mata kuliah tentang difabel ini, bagaimana cara menangani anak difabel. Paling tidak, bisa memberikan gambaran kepada mereka tentang kaum difabel," jelasnya.

Kalau untuk sekolah khusus difabel seperti SLB, guru-guru yang ada sudah terlatih. Sehingga tidak menjadi kendala bagi mereka. "Yang dibicarakan ini ketika integritas keluar untuk bergabung ke tempat non SLB. Kita bersosialisasi kan bukan hanya dengan komunitas saja, tapi dengan semua orang termasuk non difabel. Kalau kita di tempatkan di satu komunitas saja, dari kecil sampai tamat di lingkungan difabel, kan kita tidak bisa bergabung dengan orang lain. Sebab, jumlah mereka lebih banyak dari pada kaum difabel. Makanya dibutuhkan pendidikan integrasi dan inklusif itu, yang bergabung dengan orang-orang non difabel. Itu sistem pendidikannya yang kurang," ungkap Linda.

Linda mengaku, di Pertuni sendiri banyak yang menuntut ilmu di pendidikan non difabel (reguler), baik di sekolah maupun di perguruan tinggi. Di mana, tempat proses belajar seperti ini sangat bermanfaat untuk menguji mental kaum difabel. “Bagaimana kita bisa berintegrasi dengan orang lain, bagaimana kita bisa tes mental kita, di situlah tempatnya menguji mental kita. Kalau kita hanya di lingkungan difabel saja, kalau kita terus-terusan di situ, kita akan dibentuk dengan pola-pola difabel saja. Sementara, ketika kita bersosialisasi di luar, bukan hanya menghadapi kaum difabel saja, melainkan kita juga harus bersosialisasi dengan masyarakat non difabel," imbuhnya.

Menurutnya, seorang tenaga pendidik khususnya di perguruan tinggi reguler, sangat penting diberikan pemahaman bagaimana menghadapi atau memberikan arahan pada proses belajar mengajar di sekolah. Sehingga tidak lagi terjadi diskriminasi terhadap kaum difabel ini. "Itulah pentingnya ada pendidikan khusus penanganan dan bagaimana cara memberikan pelajaran kepada kaum difabel. Bisa kan penjelasan itu dimodifikasi? Sehingga semua orang bisa mengerti. Intinya, seorang tenaga pendidik itu harus mampu memberikan deskripsi secara gamblang, sehingga orang-orang seperti kami ini lebih cepat memahaminya," tuturnya.

Diskriminasi memang acap terjadi pada kaum difabel ini. Salah satu contoh kasus, ada seorang anak yang tidak bisa ujian karena dosennya tidak mengerti bagaimana membuat ujian yang pas bagi penyandang ini. "Nanti kalau pakai laptop, dibilang nyontek. Atau terlalu ribut karena pakai software pembaca teks itu. Ini yang harus menjadi koreksi, masukk0an bagi seluruh guru-guru dan dosen kita, di swasta dan negeri sama saja," bebernya kembali.

Sebagai seorang tenaga pendidik, baik guru maupun dosen, dirinya berharap semuanya bisa mengerti terhadap kaum difabel, bukan malah mendiskreditkan karena kekurangannya itu. "Mungkin di kampus, sistem pendidikannya bisa diubah. Kalau di kampus, tujuannya kan untuk mencetak profesional muda. Pemahaman mereka itu yang harus diubah. Kalau pemahaman mereka sudah berubah, mindsetnya juga sudah berubah, saya rasa kita tidak perlu teriak-teriak, tidak perlu lagi kita advokasi, semuanya pasti akan berjalan dengan baik," sebutnya lagi.

Tidak hanya di kampus saja, kaum difabel juga mendapatkan perlakuan yang sama di sekolah reguler. "Kesulitan rata-rata kami, belajar fisika, matematika, dan kimia. Di situkan banyak grafik dan gambar-gambar. Itu yang menjadi kesulitan kami. Sebagai guru yang baik, tidak boleh mendownkan seorang anak. Kalau guru itu tidak bisa membantu, setidaknya bisa mengerti. 'Ya sudah, kami mengerti dengan kondisimu, tapi kerjakanlah apa yang kamu bisa. Nanti kita cari solusi sama-sama' Gitu kan enak dengarnya. Tapi kalau ada ucapan guru yang mengatakan seperti ini, 'Kalau kalian gak tahu, ngapain kalian sekolah. Kalau gak, di SLB saja kalian sekolah, buat pusing saja kalian'. Itu kata-kata yang tidak boleh diucapkan. Kami sering, dan hampir semua anak merasakannya," bebernya.

Contoh keburukan dari tenaga pendidik, tidak hanya sampai di situ saja. Saat penulis asyik ngobrol dengan Lindawati, sesekali mereka (anak difabel lainnya) berceloteh akan diskriminasi yang mereka dapatkan ketika menimba ilmu di salah satu perguruan tinggi negeri di Medan. Ya, dosen mereka mencemoohkan nasib mereka yang menyandang status tuna netra. "Saya kan tidak bisa matematika. Jadi saya minta kepada guru saya itu untuk mengajarkannya. Lalu guru saya itu bilang supaya saya tanya ke teman saja. Lalu dia (guru) bilang, itu kan deritamu, bukan derita saya," ucapnya polos.

Menurut pengamatan Linda, sebanyak 80 persen tenaga pendidik kurang mengerti dan tidak mau memahami kaum difabel itu. Sehingga, diskriminasi terus terjadi. "Kalau di Jakarta sudah sering kita advokasi. Makanya banyak kebijakan-kebijakan baru seperti (sekolah) inklusif, kebijakan sekolah menerima kaum difabel. Mungkin ini sebagai hasil dari advokasi kita," sebut Linda.

Linda menilai, peralatan/perlengkapan sekolah untuk menunjang jalannya sistem pembelajaran di Sekolah Luar Biasa (SLB), sejauh ini sudah cukup baik. "Saya rasa perlengkapan ataupun alat peraga di SLB, sudah cukup baiklah. Hanya saja, harus ada pendidikan tambahan (kurikulum) yang harus dipelajari oleh guru. Jadi tidak hanya guru PLB saja, melainkan seluruh guru-guru di bidang umum juga harus mendapatkannya," tandasnya.

Linda juga meminta agar pemerintah memperbanyak atau menambah tenaga pendidik untuk SLB dengan cara membuka jurusan-jurusan untuk PLB. "Misalkan dibuka di Unimed. Kalau di Padang, Jakarta dan Jogja, ini sudah ada. Ini penting, karena di Sumatera Utara ini masih banyak SLB yang kekurangan guru," jelasnya.

Di tempat terpisah, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumatera Utara, Zahrin Piliang menyampaikan, tingginya diskriminasi di kalangan kaum disabilitas ini dikarenakan kekurangpahaman guru terhadap mereka. Menurutnya, tenaga pendidik merasa penyandang ini hanya sebagai beban. “Pemahaman itu yang harus diluruskan. Saya melihat di kalangan pemerintah, usaha menjelaskan tentang ini juga sangat lemah. Walaupun pemerintah sudah menjelaskan, dalam sistem pendidikan nasional itu ada pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi ini, sekolah yang menyelenggarakan pendidikan, yang orangnya terdiri dari siswa normal dan difabel. Tetapi, praktiknya, kalau saya katakan lebih dari 90 persen di Indonesia, penyelenggara sekolah inklusi itu belum berjalan. Sehingga, kalau ada calon siswa yang mengalami keterbatasan fisik, misalkan matanya (terganggu), tidak diterima di sekolah regular. Padahal, belum tentu pikirannya (tidak pintar). Jadi, kondisi seperti ini yang terjadi. Guru tidak memahami difabel ini. Padahal, difabel ini juga memiliki potensi yang sama dengan (orang normal) yang lain,” tegasnya.

Dia juga menyebutkan, kondisi ini sama halnya dengan Sumatera Utara. Berapa banyak setingkat SD, SMP, SMA yang di dalamnya menerima kaum difabel. “Gak usah dulu dari segi pendengarannya, sedikit saja seperti kaki dan tangannya, kan tidak banyak kan. Di samping hampir tidak adanya kaum difabel ini diterima, orangtua pun tidak berani menyekolahkan anaknya. Sedangkan untuk SDLB saja, di Sumut ini saja baru 16 sekolah dari 33 kabupaten/kota. SMP-nya setengah dari itu (delapan sekolah), SMALB-nya mungkin ada satu atau dua sekolah saja. Jadi, sangat kurang sekolah mereka ini. Itu antara lain kekurangperhatiannya pemerintah,” tandasnya.

Zahrin juga sependapat pemerintah daerah harus membuat aturan yang jelas bagi kelangsungan kaum difabel ini. Misalkan, dibuatnya perda. “Kalau secara khusus, rencana pembuatan perda disabilitas ini belum dicoba. Akan tetapi, dalam perda nomor 4 tahun 2014 yang baru disahkan itu, sudah disebutkan penyandang disabilitas harus mendapatkan layanan yang sama dengan yang lain. Jadi, secara khusus di pasal berapa saya lupa, bahwa hak-hak pendidikan mereka itu harus tetap diperhatikan. Pemerintah daerah wajib memenuhi hak-hak mereka. Akan tetapi, kalau ingin secara khusus kita buat perda agar tidak ada lagi diskriminasi, kita sangat berterimakasih sekali kalau ada teman-teman (penyandang disabilitas) yang mau untuk mengusulkan ranperda ini,” timpalnya.

Dari sudut konsep, pihaknya bisa mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) itu. “Jadi disamping kita menggagas itu, kita juga mendorong pemerintah agar membuat perda di kalangan disabilitas ini. Jadi, tidak tertutup untuk dilakukannya kerjasama (dengan penyandang disabilitas itu),” ungkapnya.

Menjawab persoalan ini, katanya, perlu adanya orientasi kepada calon guru tentang kelompok-kelompok, anak-anak, siswa-siswi yang mengalami keterbatasan itu. Kalau tidak sampai ke kurikulum, paling tidak harus ada orientasi terhadap itu. “Setiap mahasiswa harus tahu bahwa ada anak didik yang mengalami keterbatasan fisik. Memang, perguruan tinggi terbuka untuk menerima penyandang disabilitas ini. Hanya saja, untuk penerimaan melalui jalur undangan, itu yang belum kita dengar,” akunya.

Pemerintah diharapkannya segera mengevaluasi kebijakan terkait akses kelompok disabilitas untuk mendapatkan pendidikan, khusus untuk SDLB, SMPLB, dan SMALB, maupun sekolah inklusi. "Saya kira pemerintah harus mengevaluasi itu kembali. Terus terang perhatian disabilitas ini masih sangat kecil. Jadi, saya katakan 90 persen perhatian pemerintah masih minim bagi kelompok disabilitas ini, di sekolah dasar hingga perguruan tinggi (juga sama),” sebutnya.

Jika perhatian pemerintah hingga tenaga pendidik sudah baik, bukan tidak mungkin prestasi gemilang dapat mereka raih. “(Coba kita lihat) penyandang disabilitas di luar negeri, kebanyakan dari mereka sudah berprestasi. Helen Keller itu, selain buta juga tuli. Tapi dia bisa menamatkan pendidikannya sampai ke perguruan tinggi. Mengapa? Karena pemerintahnya memberikan kesempatan, memberi dorongan. Kalau kita, anak-anak mengalami disabilitas itu masih dianggap murka Tuhan buat keluarga itu.  Jadi, kita berharap pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan mereka khususnya di sektor pendidikan. Sehingga, kaum difabel mendapatkan layanan yang sama dengan yang lain," pungkasnya.

Ya, pemerintah harus mampu mengatasi persoalan ini. Sebab, pendidikan itu haknya semua orang. Jangan ada lagi tenaga pendidik mendiskreditkan kaum difabel ini karena kekurangannya, dan apa yang menjadi kebutuhan mereka haruslah dipenuhi. Sehingga, apa yang menjadi kegalauan penyandang disabilitas di seluruh Indonesia khususnya Sumatera Utara, dapat terjawab dan diimplemetasikan dengan baik. Semoga...

Tulisan ini merupakan hasil wawancara penulis terhadap dua narasumber pada 2014 lalu, dan sudah melalui proses editing (revisi). 


0 komentar:

Posting Komentar