Oleh : Khairuddin Arafat
Miris. Kata itulah yang mewakili judul di atas. Sebagaimana warga negara, mereka juga berhak mendapatkan perhatian, dan pendidikan yang setara dengan masyarakat lainnya. Akan tetapi, mereka malah dianaktirikan. Begitulah pesan yang tergambarkan ketika penulis berkunjung ke DPD Pertuni Sumatera Utara, Jalan Sampul, Medan tahun 2014 silam.
Meski sudah banyak sekolah maupun perguruan tinggi yang mau menerima penyandang disabilitas ini, akan tetapi proses pembelajaran kurang bisa diikuti mereka karena keterbatasan yang dimiliki. Ironis memang. Tapi begitulah keadaannya.
Tak hanya itu, kaum difabel ini juga sering mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari tenaga pendidik. Ya, tenaga pendidik acap mendiskreditkan keadaan mereka.
Miris. Kata itulah yang mewakili judul di atas. Sebagaimana warga negara, mereka juga berhak mendapatkan perhatian, dan pendidikan yang setara dengan masyarakat lainnya. Akan tetapi, mereka malah dianaktirikan. Begitulah pesan yang tergambarkan ketika penulis berkunjung ke DPD Pertuni Sumatera Utara, Jalan Sampul, Medan tahun 2014 silam.
Meski sudah banyak sekolah maupun perguruan tinggi yang mau menerima penyandang disabilitas ini, akan tetapi proses pembelajaran kurang bisa diikuti mereka karena keterbatasan yang dimiliki. Ironis memang. Tapi begitulah keadaannya.
Tak hanya itu, kaum difabel ini juga sering mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari tenaga pendidik. Ya, tenaga pendidik acap mendiskreditkan keadaan mereka.
Seperti di Kota Medan, sebut Ketua Biro
Penelitian dan Pengembangan Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Tuna Netra
Indonesia (DPD Pertuni) Sumatera Utara, Lindawati Spd, proses pembelajarannya
masih kurang bisa diikuti. Kalaupun bisa, harus fasilitas sendiri. "Saya
dan adik-adik sendiri harus miliki laptop yang bisa membaca teks. Kalau akses
peralatan di kampus agak sulit, karena semuanya masih peralatan standar. Itu
yang membuat kita kesulitan," ungkap penyandang tunanetra ini.
Bahkan, sambung Linda, fasilitas perpustakaan di kampus juva
kurang memadai bagi mereka. Sebab, belum ada perpustakaan yang menyediakan
huruf braile. Meskipun ada perpustakaan online yang pengoperasiannya/pencarian
buku melalui sistem online, namun mereka tidak bisa mengakses sendiri, karena
belum ada software pembaca teks. "Jadinya kita bergantungan terus sama
orang. Untuk mengatasi hal ini, kita harus pakai scanner untuk mengcopy-paste
tulisan ke komputer, setelah itu baru dibaca komputer melalui bantuan pembaca
teks," ujarnya.
Buku ada, sambungnya, hanya saja buku seperti ini hanya ada
seperti di Sekolah Luar Biasa (SLB). Begitu juga dengan perpustakaan daerah
yang menyediakan buku-buku yang bagus untuk kaum difabel. "Hanya saja, ini
masih terbatas. Hanya di tempat-tempat tertentu saja. Tidak semua orang bisa ke
sana (perpusatakaan daerah, RED) karena jaraknya jauh," ucapnya.
Selain itu, Linda mengomentari keberadaan SLB Negeri yang tidak
ada dibuat secara khusus. Misalnya, sekolah A khusus hanya untuk tunanetra
saja. "Seharusnya, satu sekolah itu terdiri dari gedung-gedung yang dapat
menampung seluruh siswa difabel dengan jurusannya masing-masing, biar proses
belajarnya lebih terarah. Contohnya gedung A, khusus untuk tunanetra
saja. Begitu juga dengan gedung B khusus tunarungu, gedung C untuk tunagraha,
dan gedung D untuk tunadaksa. Sehingga pencapaian belajarnya lebih optimal.
Ini yang menjadi harapan kita," sarannya.
Begitu juga dengan sistem pendidikan yang sangat kompleks seperti
saat ini. Misalkan, seorang tenaga pengajar seperti guru dan dosen, mereka
kurang mengerti tentang difabel. Seharusnya, seluruh universitas memberikan
pengetahuan tentang Pendidikan Luar Biasa (PLB) kepada mahasiswanya. "Saya
kira, setiap keguruan dan apapun jurusannya, harus diberikan pengetahuan PLB
ini kepada mahasiswanya. Sebab, masih banyak guru-guru yang menganggap kaum
difabel khususnya tunanetra sebagai beban. 'Saya mau ngajarin kalian
bagaimana?' Ada yang bingung, tapi tetap belajar. Ada yang bingung, jadinya gak
mau belajar. Akhirnya, menyisihkan kaum difabel ini. Itu yang harus dibekali
oleh seluruh perguruan tinggi kepada mahasiswanya. Saya pikir, setiap perguruan
tinggi juga harus ada mata kuliah tentang difabel ini, bagaimana cara menangani
anak difabel. Paling tidak, bisa memberikan gambaran kepada mereka tentang kaum
difabel," jelasnya.
Kalau untuk sekolah khusus difabel seperti SLB, guru-guru yang ada
sudah terlatih. Sehingga tidak menjadi kendala bagi mereka. "Yang dibicarakan
ini ketika integritas keluar untuk bergabung ke tempat non SLB. Kita
bersosialisasi kan bukan hanya dengan komunitas saja, tapi dengan semua orang
termasuk non difabel. Kalau kita di tempatkan di satu komunitas saja, dari
kecil sampai tamat di lingkungan difabel, kan kita tidak bisa bergabung dengan
orang lain. Sebab, jumlah mereka lebih banyak dari pada kaum difabel. Makanya
dibutuhkan pendidikan integrasi dan inklusif itu, yang bergabung dengan
orang-orang non difabel. Itu sistem pendidikannya yang kurang," ungkap
Linda.
Linda mengaku, di Pertuni sendiri banyak yang menuntut ilmu di
pendidikan non difabel (reguler), baik di sekolah maupun di perguruan tinggi.
Di mana, tempat proses belajar seperti ini sangat bermanfaat untuk menguji
mental kaum difabel. “Bagaimana kita bisa berintegrasi dengan orang lain,
bagaimana kita bisa tes mental kita, di situlah tempatnya menguji mental kita.
Kalau kita hanya di lingkungan difabel saja, kalau kita terus-terusan di situ,
kita akan dibentuk dengan pola-pola difabel saja. Sementara, ketika kita
bersosialisasi di luar, bukan hanya menghadapi kaum difabel saja, melainkan
kita juga harus bersosialisasi dengan masyarakat non difabel," imbuhnya.
Menurutnya, seorang tenaga pendidik khususnya di perguruan tinggi
reguler, sangat penting diberikan pemahaman bagaimana menghadapi atau
memberikan arahan pada proses belajar mengajar di sekolah. Sehingga tidak lagi
terjadi diskriminasi terhadap kaum difabel ini. "Itulah pentingnya ada
pendidikan khusus penanganan dan bagaimana cara memberikan pelajaran kepada
kaum difabel. Bisa kan penjelasan itu dimodifikasi? Sehingga semua orang bisa
mengerti. Intinya, seorang tenaga pendidik itu harus mampu memberikan deskripsi
secara gamblang, sehingga orang-orang seperti kami ini lebih cepat
memahaminya," tuturnya.
Diskriminasi memang acap terjadi pada kaum difabel ini. Salah satu contoh kasus, ada seorang anak yang tidak bisa ujian karena dosennya tidak mengerti bagaimana membuat ujian yang pas bagi penyandang ini. "Nanti kalau pakai laptop, dibilang nyontek. Atau terlalu ribut karena pakai software pembaca teks itu. Ini yang harus menjadi koreksi, masukk0an bagi seluruh guru-guru dan dosen kita, di swasta dan negeri sama saja," bebernya kembali.
Sebagai seorang tenaga pendidik, baik guru maupun dosen, dirinya
berharap semuanya bisa mengerti terhadap kaum difabel, bukan malah
mendiskreditkan karena kekurangannya itu. "Mungkin di kampus, sistem
pendidikannya bisa diubah. Kalau di kampus, tujuannya kan untuk mencetak
profesional muda. Pemahaman mereka itu yang harus diubah. Kalau pemahaman
mereka sudah berubah, mindsetnya juga sudah berubah, saya rasa kita tidak perlu
teriak-teriak, tidak perlu lagi kita advokasi, semuanya pasti akan berjalan
dengan baik," sebutnya lagi.
Tidak hanya di kampus saja, kaum difabel juga mendapatkan
perlakuan yang sama di sekolah reguler. "Kesulitan rata-rata kami, belajar
fisika, matematika, dan kimia. Di situkan banyak grafik dan gambar-gambar. Itu
yang menjadi kesulitan kami. Sebagai guru yang baik, tidak boleh mendownkan
seorang anak. Kalau guru itu tidak bisa membantu, setidaknya bisa mengerti. 'Ya
sudah, kami mengerti dengan kondisimu, tapi kerjakanlah apa yang kamu bisa.
Nanti kita cari solusi sama-sama' Gitu kan enak dengarnya. Tapi kalau ada
ucapan guru yang mengatakan seperti ini, 'Kalau kalian gak tahu, ngapain kalian
sekolah. Kalau gak, di SLB saja kalian sekolah, buat pusing saja kalian'. Itu
kata-kata yang tidak boleh diucapkan. Kami sering, dan hampir semua anak
merasakannya," bebernya.
Contoh keburukan dari tenaga pendidik, tidak hanya sampai di situ
saja. Saat penulis asyik ngobrol dengan Lindawati, sesekali mereka (anak
difabel lainnya) berceloteh akan diskriminasi yang mereka dapatkan ketika
menimba ilmu di salah satu perguruan tinggi negeri di Medan. Ya, dosen mereka
mencemoohkan nasib mereka yang menyandang status tuna netra. "Saya kan
tidak bisa matematika. Jadi saya minta kepada guru saya itu untuk
mengajarkannya. Lalu guru saya itu bilang supaya saya tanya ke teman saja. Lalu
dia (guru) bilang, itu kan deritamu, bukan derita saya," ucapnya polos.
Menurut pengamatan Linda, sebanyak 80 persen tenaga pendidik
kurang mengerti dan tidak mau memahami kaum difabel itu. Sehingga, diskriminasi
terus terjadi. "Kalau di Jakarta sudah sering kita advokasi. Makanya
banyak kebijakan-kebijakan baru seperti (sekolah) inklusif, kebijakan sekolah
menerima kaum difabel. Mungkin ini sebagai hasil dari advokasi kita,"
sebut Linda.
Linda menilai, peralatan/perlengkapan sekolah untuk menunjang
jalannya sistem pembelajaran di Sekolah Luar Biasa (SLB), sejauh ini sudah
cukup baik. "Saya rasa perlengkapan ataupun alat peraga di SLB, sudah
cukup baiklah. Hanya saja, harus ada pendidikan tambahan (kurikulum) yang harus
dipelajari oleh guru. Jadi tidak hanya guru PLB saja, melainkan seluruh
guru-guru di bidang umum juga harus mendapatkannya," tandasnya.
Linda juga meminta agar pemerintah memperbanyak atau menambah
tenaga pendidik untuk SLB dengan cara membuka jurusan-jurusan untuk PLB.
"Misalkan dibuka di Unimed. Kalau di Padang, Jakarta dan Jogja, ini sudah
ada. Ini penting, karena di Sumatera Utara ini masih banyak SLB yang kekurangan
guru," jelasnya.
Di tempat terpisah, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Daerah (KPAID) Sumatera Utara, Zahrin Piliang menyampaikan, tingginya
diskriminasi di kalangan kaum disabilitas ini dikarenakan kekurangpahaman guru
terhadap mereka. Menurutnya, tenaga pendidik merasa penyandang ini hanya
sebagai beban. “Pemahaman itu yang harus diluruskan. Saya melihat di kalangan
pemerintah, usaha menjelaskan tentang ini juga sangat lemah. Walaupun
pemerintah sudah menjelaskan, dalam sistem pendidikan nasional itu ada
pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi ini, sekolah yang menyelenggarakan
pendidikan, yang orangnya terdiri dari siswa normal dan difabel. Tetapi,
praktiknya, kalau saya katakan lebih dari 90 persen di Indonesia, penyelenggara
sekolah inklusi itu belum berjalan. Sehingga, kalau ada calon siswa yang
mengalami keterbatasan fisik, misalkan matanya (terganggu), tidak diterima di
sekolah regular. Padahal, belum tentu pikirannya (tidak pintar). Jadi, kondisi
seperti ini yang terjadi. Guru tidak memahami difabel ini. Padahal, difabel ini
juga memiliki potensi yang sama dengan (orang normal) yang lain,” tegasnya.
Dia juga menyebutkan, kondisi ini sama halnya dengan Sumatera
Utara. Berapa banyak setingkat SD, SMP, SMA yang di dalamnya menerima kaum
difabel. “Gak usah dulu dari segi pendengarannya, sedikit saja seperti kaki dan
tangannya, kan tidak banyak kan. Di samping hampir tidak adanya kaum difabel
ini diterima, orangtua pun tidak berani menyekolahkan anaknya. Sedangkan untuk
SDLB saja, di Sumut ini saja baru 16 sekolah dari 33 kabupaten/kota. SMP-nya
setengah dari itu (delapan sekolah), SMALB-nya mungkin ada satu atau dua
sekolah saja. Jadi, sangat kurang sekolah mereka ini. Itu antara lain
kekurangperhatiannya pemerintah,” tandasnya.
Zahrin juga sependapat pemerintah daerah harus membuat aturan yang
jelas bagi kelangsungan kaum difabel ini. Misalkan, dibuatnya perda. “Kalau
secara khusus, rencana pembuatan perda disabilitas ini belum dicoba. Akan
tetapi, dalam perda nomor 4 tahun 2014 yang baru disahkan itu, sudah disebutkan
penyandang disabilitas harus mendapatkan layanan yang sama dengan yang lain.
Jadi, secara khusus di pasal berapa saya lupa, bahwa hak-hak pendidikan mereka
itu harus tetap diperhatikan. Pemerintah daerah wajib memenuhi hak-hak mereka.
Akan tetapi, kalau ingin secara khusus kita buat perda agar tidak ada lagi
diskriminasi, kita sangat berterimakasih sekali kalau ada teman-teman
(penyandang disabilitas) yang mau untuk mengusulkan ranperda ini,” timpalnya.
Dari sudut konsep, pihaknya bisa mempersiapkan Rancangan Peraturan
Daerah (Ranperda) itu. “Jadi disamping kita menggagas itu, kita juga mendorong
pemerintah agar membuat perda di kalangan disabilitas ini. Jadi, tidak tertutup
untuk dilakukannya kerjasama (dengan penyandang disabilitas itu),” ungkapnya.
Menjawab persoalan ini, katanya, perlu adanya orientasi kepada
calon guru tentang kelompok-kelompok, anak-anak, siswa-siswi yang mengalami
keterbatasan itu. Kalau tidak sampai ke kurikulum, paling tidak harus ada
orientasi terhadap itu. “Setiap mahasiswa harus tahu bahwa ada anak didik yang
mengalami keterbatasan fisik. Memang, perguruan tinggi terbuka untuk menerima
penyandang disabilitas ini. Hanya saja, untuk penerimaan melalui jalur
undangan, itu yang belum kita dengar,” akunya.
Pemerintah diharapkannya segera mengevaluasi kebijakan terkait
akses kelompok disabilitas untuk mendapatkan pendidikan, khusus untuk SDLB, SMPLB,
dan SMALB, maupun sekolah inklusi. "Saya kira pemerintah harus
mengevaluasi itu kembali. Terus terang perhatian disabilitas ini masih sangat
kecil. Jadi, saya katakan 90 persen perhatian pemerintah masih minim bagi
kelompok disabilitas ini, di sekolah dasar hingga perguruan tinggi (juga
sama),” sebutnya.
Jika perhatian pemerintah hingga tenaga pendidik sudah baik, bukan
tidak mungkin prestasi gemilang dapat mereka raih. “(Coba kita lihat)
penyandang disabilitas di luar negeri, kebanyakan dari mereka sudah
berprestasi. Helen Keller itu, selain buta juga tuli. Tapi dia bisa menamatkan
pendidikannya sampai ke perguruan tinggi. Mengapa? Karena pemerintahnya
memberikan kesempatan, memberi dorongan. Kalau kita, anak-anak mengalami
disabilitas itu masih dianggap murka Tuhan buat keluarga itu. Jadi, kita
berharap pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan mereka khususnya di sektor
pendidikan. Sehingga, kaum difabel mendapatkan layanan yang sama dengan yang
lain," pungkasnya.
Ya, pemerintah harus mampu mengatasi persoalan ini. Sebab,
pendidikan itu haknya semua orang. Jangan ada lagi tenaga pendidik
mendiskreditkan kaum difabel ini karena kekurangannya, dan apa yang menjadi
kebutuhan mereka haruslah dipenuhi. Sehingga, apa yang menjadi kegalauan
penyandang disabilitas di seluruh Indonesia khususnya Sumatera Utara, dapat
terjawab dan diimplemetasikan dengan baik. Semoga...
Tulisan ini merupakan hasil wawancara penulis terhadap dua
narasumber pada 2014 lalu, dan sudah melalui proses editing (revisi).
0 komentar:
Posting Komentar