Senin, 13 Januari 2014

Jurnalisme Sastrawi

Pernahkah Anda membaca artikel di surat kabar, lalu mengeluhkan gaya bahasa yang cenderung statis, dipakai berulang kali oleh si penulis? Mungkin, Anda mengeluhkan mengapa prinsip faktual jurnalistik (5W+1H) hanya dijelajahi secara dangkal? Atau, mungkin juga muncul pertanyaan dalam benak Anda mengapa saat membaca liputan jurnalistik, Anda tidak bisa menikmatinya seperti saat membaca novel atau cerpen. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Anda mungkin perlu membaca jurnalisme sastrawi.

Apakah jurnalisme sastrawi itu? Jurnalisme sastrawi adalah suatu aliran jurnalistik yang dipelopori oleh jurnalis-novelis, Tom Wolfe, dan berkembang pada awal 1970 dengan sebutan jurnalisme baru (new journalism). Disebut jurnalisme baru, selain karena gaya bahasanya yang berbeda, aliran ini menggunakan konstruksi situasi demi situasi (scene by scene construction), reportase yang mendalam (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point-of-view), serta penuh dengan detail-sangat berbeda dari kebanyakan reportase. 
Kebanyakan ceritanya pun berbicara tentang orang biasa, bukan orang terkenal. Wawancara bisa dilakukan dengan puluhan (bahkan lebih sering ratusan) nara sumber. Risetnya pun tidak main-main. Rentang waktu penulisannya bahkan tidak hanya satu-dua minggu, namun berbulan-bulan-bertentangan dengan prinsip dasar jurnalistik yang menuntut penyajian berita dengan cepat.

Dalam jurnalisme biasa, 5W+1H merupakan singkatan dari who (siapa), what (apa), where (di mana), when (kapan), why (mengapa), dan how (bagaimana). Namun, jurnalisme sastrawi mengubah who menjadi karakter, what menjadi alur, where menjadi latar, when menjadi kronologi, why menjadi motif, dan how menjadi narasi. Maka dari itu, reportase-reportase jurnalisme sastrawi lebih menyerupai novel atau cerpen daripada reportase biasa, tetapi masih tetap berpegang pada Journalism 101-nya, yaitu penyajian fakta. Akibatnya, reportase jurnalisme sastrawi selalu membutuhkan banyak halaman, puluhan hingga ratusan. Bahkan, majalah The New Yorker pernah menerbitkan satu laporan hanya dalam satu edisi majalah, yaitu “Hiroshima” karya John Hersey yang menceritakan detik-detik penghancuran Kota Hiroshima oleh tentara Sekutu.

Pada tahun 2000, Andreas Harsono mencoba memperkenalkan jurnalisme sastrawi di Indonesia. Dia kemudian membentuk tim yang terdiri dari jurnalis-jurnalis muda berbakat untuk merintis majalah jurnalistik dengan gaya tulisan dan bahasa yang sastrawi. Lahirlah majalah Pantau pada bulan Desember 2000. Meskipun demikian, setelah berjalan kurang dari 3 tahun, majalah ini akhirnya berhenti beredar karena kurangnya biaya operasional dan lemahnya strategi pemasaran. Pada bulan Februari 2003, majalah Pantau resmi dinyatakan berhenti. Meskipun berhenti, beberapa jurnalis Pantau, termasuk Andreas Harsono, kemudian mendapatkan ide untuk merangkum artikel-artikel terbaik yang pernah dimuat di majalah Pantau dalam sebuah buku. Terbitlah kemudian buku Jurnalisme Sastrawi ini yang merupakan bunga rampai artikel-artikel terbaik dari majalah pertama (dan satu-satunya) di Indonesia yang menggunakan bahasa sastrawi untuk tulisan jurnalistik.


Buku ini memuat delapan cerita dari delapan jurnalis eks-Pantau. Sebagai pembuka, buku ini menawarkan artikel dari Chik Rini, yaitu “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” yang menceritakan insiden berdarah yang terjadi di Prapatan Kraft (Aceh) pada tahun 1999. Dengan sangat dramatis, Chik Rini menceritakan kejadian tersebut dan menggunakan reporter RCTI, Imam Wahyudi, dan juru kameranya, Fipin Kurniawan, sebagai tokoh utama. Anda mungkin tidak akan menemukan artikel di surat kabar atau majalah manapun tentang detail tertembaknya seorang bocah tepat di kepala sampai cairan otaknya terburai dan membuat sebagian wartawan yang meliput gemetaran, menangis, dan muntah, kecuali dalam tulisan Chik Rini yang reportasenya begitu mendalam ini. 

Kemudian, ada Agus Sopian yang menceritakan secara cermat bagaimana kinerja teroris pelaku sejumlah teror bom di Indonesia melalui artikel yang berjudul “Taufik bin Abdul Alim”. Disusul kemudian oleh “Hikayat Kebo”, sebuah reportase oleh Linda Christanty yang menyikapi pembakaran hidup-hidup seorang gelandangan bernama Kebo di Jakarta. Ada pula “Konflik Nan Tak Kunjung Padam” karya Coen Husain Pontoh yang menyingkap semua kebobrokan majalah tersohor di Indonesia, Tempo. “Kejar Daku Kau Kusekolahkan” oleh Alfian Hamzah menceritakan suka-duka TNI yang ditempatkan di Aceh pada masa DOM. Kata kata yang digunakan oleh tentara-tentara Batalyon Rajawali yang bertugas di Aceh ternyata mempunyai makna khusus, misalnya, kata sekolah berarti ‘membunuh awak GAM dengan tembakan langsung di kepala’. 

Lalu, ada artikel milik Eriyanto yang berjudul “Koran, Bisnis, dan Perang” yang bertutur mengenai dua koran besar di Maluku, Suara Maluku dan Ambon Ekspres, yang mempunyai andil dalam memperkeruh konflik agama yang sedang terjadi. Selanjutnya, Budi Setiyono dalam “Ngak-Ngik-Ngok” bercerita tentang Koes Plus yang ditunjuk Presiden Soekarno untuk menjadi “duta Nekolim” setelah mereka dipenjara. Yang terakhir adalah tulisan Andreas Harsono sendiri yang berjudul “Dari Thames ke Ciliwung” yang menggambarkan bobroknya birokrasi PDAM Jaya beserta investor-investornya dalam hal pengelolaan air di Jakarta.

Thanks to http://lidahibu.com/



0 komentar:

Posting Komentar